KedaiPena.Com – Tim ekonomi Orde Baru di bawah pengarahan Widjojo Nitisatro hanya membangun perekonomian tradisional yang bernilai tambah rendah dan hanya mengandalkan sumber daya alamnya. Ini yang menyebabkan selama 50 tahun, PDB per kapita Indonesia baru mencapai $3800.
“Ekonomi bertumpu pada gas, minyak dan hutan. Manufaktur dan otomotif sebenarnya berkembang, namun tidak mendalamkan struktur industrinya. Sehingga bahan bakunya masih banyak yang tergantung impor dan otomotif pun tidak membangun merek sendiri seperti Malaysia, yang independen dari raksasa otomotif dunia. Padahal Indonesia mempunyai pasar yang luar biasa besarnya,” ujar analis kebijakan publik, Abdulrachim K kepada KedaiPena.Com, Selasa (13/3/2018).
Ia melanjutkan, sangat ironis ketika minyak sudah hampir habis, Indonesia saat ini menjadi net importir minyak. Itu pun masih lebih dari 500 ribu barrel setiap hari, minyak kita harus dikilang di Singapura karena kapasitas kilang kita sangat kecil. Sementara, gas alam di Badak dan Arun sudah habis dijual dalam bentuk LNG yang bernilai tambah rendah, lalu jutaan hektar hutan sudah habis digunduli, ternyata kita hanya mampu menghasilkan PDB per kapita $3800. Sedangkan PDB/kapita Singapura 14 kali kita yaitu $52960.
“Darmin Nasution, Sri Mulyani Indrawati dan menteri-menteri ekonomi lainnya yang seharusnya bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi agar bisa memajukan negara Indonesia, ternyata hanya bisa membuat pertumbuhan ekonomi yang melempem cuma 5 persen. Memang tidak mungkin mengharapkan mereka yang merupakan murid-murid dari Widjojo Nitisastro cs yang telah membuat Indonesia tertinggal jauh dari Singapura dan negara-negara maju Asia lainnya, untuk bisa memajukan negara kita dengan cara membuat pertumbuhan ekonomi yang tinggi,” sesalnya.
Menteri-menteri itu akan tetap menggantungkan diri kepada perekonomian tradisional yang berbasis kepada bahan mentah atau setengah jadi seperti batubara, CPO , LNG dan sebagainya. Apabila harga komoditi di dunia internasional sedang rendah, maka ekonomi kita ikut anjlok.
“Mereka hanya menunggu naiknya harga komodii tanpa mampu berinovasi menggerakkan sektor-sektor lain yang bisa menjadi motor penggerak ekonomi. Apalagi kalau mereka diharapkan bisa menggerakkan sektor manufaktur yang bernilai tambah tinggi atau sektor pariwisata yang relatif membutuhkan investasi kecil tetapi memberikan ‘multiplier effect’ yang besar,” sambung Mimin, sapaannya.
Tidak mungkin para menteri tersebut mampu membangun industri petrokimia yang bernilai tambah tinggi dan produknya sangat dibutuhkan masyarakat. Sebagai contoh 40 persen komponen mobil itu dibuat dari hasil industri petrokimia seperti ban, jok, dashboard, bagian dalam atap mobil, bagian dalam pintu dan lain-lain. Produk petrokimia juga dibutuhkan oleh industri tekstil, cat, bahan peledak, jaket, tas, helm, bahan plastik dan lain-lain.
“Sedangkan saat ini untuk bahan plastik saja harus impor lebih dari Rp100 triliun setiap tahun. Bahan baku industri petrokimia itu adalah gas alam yang kita miliki banyak sekali, namun sekarang ini hanya diekspor dalam bentuk LNG yang bernilai tambah rendah. Konyolnya lagi LNG kita itu diekspor ke Taiwan, Malaysia dan Korea Selatan, namun hasil produk petrokimia mereka itu yang harganya sudah menjadi berkali-kali lipat kita impor kembali ke Indonesia. Jadi kita jual bahan mentahnya dengan harga murah, dan kita beli kembali barang jadinya yang harganya sudah sangat mahal ditambah ongkos transpor dan asuransi. Suatu kebodohan ekonomi yang luar biasa,” geram aktivis 77/78 ini.
Selain ketidak mampuan Darmin Nasution, Sri Mulyani dan menteri-menteri ekonomi lainnya membangun dunia industri dan sektor lain yang bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, khususnya SMI sebagai Menkeu sangat patuh secara dogmatis dengan konsep neoliberal dari IMF dan World Bank. Khususnya soal austerity atau pengetatan anggaran.
“IMF yang telah gagal dimana-mana, di Argentina, di Indonesia dan di Yunani, sampai sekarang diikuti dengan kaca mata kuda oleh SMI. Itu pun ditambah lagi oleh SMI di tengah ekonomi yang lagi lesu ini, dia selalu mengejar-ngejar pajak sampai sekecil-kecilnya. Deposito Rp200 juta mau dikejar. Setelah banyak protes akhirnya batasnya dinaikkan jadi Rp1 miliar. Batas pajak UKM mau diturunkan dari omzet Rp4,8 miliar dan pajaknya mau tetap dikenakan 1 persen sampai bertentangan dengan Presiden Jokowi yang mau menurunkan sampai 0,25 persen, dan akhirnya menjadi 0,5 persen,” ujar dia lagi.
Akibatnya Indonesia selama lima tahun berturut, sejak 2013 sampai dengan 2017 (termasuk masa jabatan SMI 1,5 tahun) ekonominya hanya tumbuh rata2 5,1 persen. Sekarang, tahun 2018 Indonesia akan memasuki tahun keenam dengan pertumbuhan ekonomi 5,1 persen. Padahal dalam situasi global yang sama sulitnya dengan kita, Vietnam dan Filipina sudah bertahun-tahun tumbuh 6,5 persen setiap tahun.
Tahun 2016 saja ekspor tekstil Vietnam sebesar USD23,8 miliar, hampir dua kali Indonesia yang hanya USD12,1 miliar. Di tahun yang sama, ekspor gadget (ponsel pintar) Vietnam mencapai USD34 miliar. Dan total ekspor Vietnam 2016 mencapai USD177 miliar lebih tinggi 22 persen dari pada Indonesia yang hanya USD144 miliar.
“Persoalannya bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang rendah, hanya 5 persen yang mengakibatkan banyaknya angkatan kerja baru yang tidak tertampung dan bisnis menjadi lesu. Tetapi juga sangat mahalnya harga sembako dibanding di negara tetangga. Inflasi memang rendah tetapi harga awalnya memang sudah tinggi dan daya belinya rendah. Masyarakat sangat sulit membelanjakan uang,” jelasnya.
Ia melanjutkan, jika Presiden Jokowi tetap mempertahankan menteri-menteri ekonomi yang tidak berprestasi seperti ini, akan merugikan, bukan hanya elektabilitasnya saja tetapi juga merugikan bangsa dan negara. Terutama masyarakat menengah ke bawah yang menjadi pemilih utamanya.
“Presiden Jokowi jangan silau dengan rekayasa internasional dengan gelar menteri terbaik sedunia dan sebagainya. namun harus melihat kerja nyatanya dan kemampuan riilnya dalam menangani ekonomi. Banyak kepentingan asing yang ingin mengendalikan perekonomian Indonesia dan kita harapkan Presiden Jokowi tidak terkecoh,” pungkas Mimin.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas