KedaiPena.Com – Ketua Paramotor Indonesia Cahyo Alkantana yakin masa depan pariwisata paramotor cerah. Ia menegaskan, untuk wisatawan umum, wisata paramotor dilakukan dengan cara tandem dengan pilot yang sudah berpengalaman.
“Kita sudah liat tadi untuk tandem. Dan ini sudah jalan di Manado, Bali, Ancol dan Jogja. Dan kita juga akan buka di Citarik, Ciletuh, Batam. Kita coba buka di tempat lainnya,” kata Cahyo saat berbincang dengan KedaiPena.Com di Bogor, beberapa waktu lalu.
Keyakinan Cahyo akan meningkatnya wisata paramotor, karena pariwisata sebagai sektor andalan pemerintah.
“Dan kita mendapat prioritas utama. Bappenas memprioritaskan pariwisata petualangan untuk lebih dikembangkan. Kita menyambut gayung,” lanjut dia.
Meski paramotor dianggap sebagai ‘high cost tourism’, Cahyo tetap percaya diri. Asalkan dilakukan dengan strategi khusus, wisata paramotor tetap bisa berkembang di Indonesia.
“Di Manado dan Bali jalan. Di Thailand, Malaysia, Dubai, jalan sekali. Kita ke arah ke sana. Jika kita jualan barang mahal, maka tidak semua sanggup, makanya melihat pasar juga,” ujar Ketua Indonesia Adventure Travel Trade Association (IATTA) ini.
Untuk wisatawan umum, pasti ‘excited’ ketika melihat paramotor. Tapi ketika melihat harga Rp750 ribu, mereka tidak jadi tertarik.
“Pun ketika turun menjadi Rp500 ribu, juga demikian. Nah pas masuk Rp250 ribu, mereka mampu tapi tidak cukup menutup pengeluaran, buat pilot, buat bahan bakar, perawatan alat. Dan ini tantangannya,” Cahyo menambahkan.
Beda cerita dengan di Dubai, yang mayoritas wisatawannya menengah ke atas. Dengan tiket terbang Rp2,5 juta, wisata paramotor tetap laku.
“Kenapa demikian? Karena pasarnya masuk, wisatawan menengah ke atas. Makanya kita harus pintar-pintar memilih tempat (jika ingin membuka wisata paramotor),” katanya lagi.
Ia lalu membandingkan dengan wisata goa Jomblang di Yogyakarta. Untuk masuk ke goa, selama tiga jam, harus membayar Rp500 ribu. Hasilnya laku, dalam waktu satu bulan bisa 2000-2500 wisatawan yang menikmati goa ini.
“Dan bisa, nah ini kan soal pengemasan. Intinya ada manajemen tertentu untuk menjual harga tinggi. Saya maui ambil contoh di Selandia Baru itu wisatawannya sedikit tapi pendapatan tinggi. jadi pendekatannya kualitas bukan kuantitas, bukan ‘mass tourism’,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas