GROUND breaking pembangunan kereta api cepat  Jakarta-Bandung (KCIC) telah dilakukan oleh Presiden Jokowi, pada hari  Kamis, 21 Januari 2016, di Kabupaten Bandung.Â
Jokowi mengklaim bahwa ini adalah kereta api cepat pertama di Negara ASEAN. Pembangunan kereta ini dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menaikkan tingkat kepercayaan investor, mempercepat mobilisasi arus orang dan barang serta (dari sisi pembiayaan) tidak membebankan anggaran APBN, sehingga APBN bisa diarahkan untuk pembangunan infrastruktur di luar Jawa. Proyek ini diputuskan melalui PP 107/2015.‎
Klaim Jokowi ini menimbulkan banyak keraguan. Sebab, pertama, proposal China dibuat dalam waktu yang begitu singkat, sekitar 3 bulan. Berbeda dengan Jepang, yang sejak awal melibatkan diri dalam studi kelayaan pembangunan kereta api cepat ini. Jepang sudah melakukan studi lebih dari setahun.Â
Singkatnya waktu pengajuan proposal China, menunjukkan unsur kehati-hatian (prudent) yang kurang baik. Kedua, biaya yang diajukan China mecapai  $5,5 Milyar dollar untuk 150 KM.  Angka ini menjadi tidak masuk akal, dianggap terlalu mahal.Â
Hal ini dapat dibandingkan dengan kereta cepat Mumbai-Ahmadebab ($ 14 Billion untuk 534 KM), Taheran-Ishafan ($ 2,7 Billion untuk 400 KM). Atau di atas rata-rata pembangunan kereta cepat di China ($ 17-21 Million /Km) atau di eropa ($25-39 Million/km), yang dirilis World Bank per Juli 2015.‎
Ketiga, biaya yang diajukan Jepang lebih murah dan beban bunganya lebih murah. Keempat, projek dengan kapital yang sangat besar, terkesan tidak melibatkan pendekatan interdepertamental dan regional. Hal ini terlihat dari pelibatan departemen perhubungan, BMKG, lingkungan hidup, dan pemerintahan daerah yang sangat minim.Â
Sehingga berbagai aspek yang seharusnya diteliti, baik dari sisi analisa “Benefit-Cost ratioâ€, aspek pertumbuhan kawasan, aspek keselamatan dan bencana, dan aspek keadilan ekonomi dan social bagi masyarakat sekitarnya dapat memberi gambaran pentingnya projek tersebut.Â
Kelima, projek KCIC ini baru saja “ground breakingâ€, sudah meminta pemerintah agar memberikan garansi, sebagaimana projek-projek besar lainnya. Meskipun konsorsium KCIC membantah perlunya garansi finansial, tapi tetap saja ini mengarah pada keterlibatan pemerintah dalam proyek yang di klaim mereka sebagai murni swasta.‎
Melihat banyaknya pihak yang ragu atas berbagai aspek pembangunan KCIC ini termasuk wakil presiden(yang ragu dari sisi pembiayaan), Jokowi sudah mengumumkan akan mengekspose secara transparan perihal KCIK ini minggu depan.Â
Persoalannya, bagaimana mengukur layak tidaknya projek ini sehingga mampu memuaskan berbagai pihak. Pertama, pihak internasional. Pihak ini melihat bahwa ada keganjilan dalam memutuskan kemenangan China dibanding Jepang.Â
Jepang adalah negara pertama di dunia membangun kereta cepat. Di samping itu, tersirat adanya ambisi yang kuat dari China untuk  masuk secara cepat dalam agenda China menyatukan kita dengan mereka (baca: Vision and Actions On Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st  Century Maritime Silk Road, March 2015, Ministry of Foreign Affairs, and Ministry of Commerce of the People’s Republic of  China, Foreign Languanges Press).Â
Kedua, pihak akademisi, kita harus memperoleh rasionalitas pentingnya projek ini. Meski dikesankan ini adalah projek bisnis to bisnis atau swasta, namun tetap memberi catatan bahwa selain melibatkan tanah-tanah Negara, beberapa BUMN, keterlibatan menteri dan bahkan Presiden Republik Indonesia.Â
Pembangunan kereta cepat ini banyak mengganggu rasionalitas sehingga menimbulkan kritik. Ketiga, bagaimana memastikan bahwa rakyat di daerah pengembangan kota terkait KCIC ini akan mendapatkan nilai tambah, bukan sekedar memuaskan kelompok kapitals properti?
Melihat hal ini, sudah sebaiknya proyek ini dinyatakan berehenti sementara . Proyek ini tentu akan dilanjutkan jika berbagai ketidak puasan publik itu dapat dianulir.Â
Sebagai ilustrasi, dalam pembangunan California High Speed Rail System, mereka membagi kritik dalam 5 hal, pertama unachievable train speed, kedua implausible ridership, ketiga projection spiraling costs, keempat no funding plan dan kelima incorrect assumptions re HSR alternatives increasing fare projections.‎
Â
Oleh Direktur Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan‎