Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Saat ini, sayang sekali masih ada yang sibuk dengan pemikiran kuno. Maksud saya, masih sibuk dukung mendukung figur capres tertentu menuju Pilpres 2024.
Padahal, pemikiran kuno ini memiliki banyak masalah.
Pertama, belum tentu sosok capres yang didukung diusung parpol dan lolos ikut Pilpres 2024. Bisa saja, sudah capek-capek dukung, ternyata parpol dan oligarki mengusung sosok yang lain.
Kedua, belum tentu sosok yang diusung amanah. Kalau nanti maunya timbul sendirian dan meninggalkan rakyat tenggelam, sakit hati lagi.
Ketiga, belum punya solusi konkret dan komprehensif. Kalau sudah jadi Presiden tetap saja menerapkan kapitalisme sekuler, tarik pajak rakyat, utang riba, jual SDA ke asing dan aseng, dan rakyat lagi yang jadi korbannya.
Keempat, rawan menjadi korban, sebab meskipun lolos dan ikut Pilpres 2024, yang mengendalikan hasil adalah KPU. Struktur KPU sudah didesain oleh rezim hari ini. Yakin Pilpres tidak akan curang lagi?
Yang keren dan progresif itu berfikir seperti Sri Lanka dan Albania. Kenapa keren?
Mereka berfikir dan berjuang benar-benar untuk rakyat. Bukan untuk Capres atau sosok tertentu. Mereka bergerak sejak sekarang, tidak menunggu tahun 2024. Kalau perubahan menunggu tahun 2024, lama sekali.
Di Sri Lanka, krisis ekonomi parah dan terburuk mendorong ratusan ribu warganya menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran. Hingga berakhir tumbangnya rezim, Presiden dan PM Sri Lanka mundur. Bahkan, saat mencoba kabur ke AS, adik laki-laki Presiden Sri Lanka dicegat pihak Imigrasi.
Sri Lanka bukan satu-satunya. Sejumlah negara lain juga sedang dilanda protes karena krisis Ekonomi. Sejumlah negara, termasuk Albania juga mengalami hal serupa.
Pekan lalu, ribuan orang Albania berkumpul di Tirana untuk menuntut pengunduran diri pemerintah karena dugaan korupsi dan kenaikan harga secara besar-besaran.
Bank sentral Albania mengumumkan kenaikan suku bunga 1,25 persen, sementara inflasi resmi Juni adalah 6,7 persen.
Di Argentina, ribuan warga Argentina memprotes kenaikan biaya hidup dengan berkumpul di Buenos Aires.
Dengan suku bunga utama di 52 persen dan inflasi di 60,7 persen pada bulan Mei, para demonstran mendesak pemerintah untuk mengundurkan diri sambil menolak pinjaman IMF.
Ada lagi di Panama, Kenya, Ghana juga terjadi gerakan rakyat untuk menuntut perubahan.
Gerakan rakyat seperti ini lebih murni untuk kepentingan rakyat, ketimbang gerakan copras capres yang hanya berebut kekuasaan.
Jadi, sudah siap berfikir seperti Sri Lanka dan Albania? Membuat gerakan perubahan yang berbasis pada kekuatan rakyat, tidak terikat waktu dan menunggu tahun 2024?
Sibuk copras-capres hanya kegiatan yang melenakan dan memberikan kesempatan rezim untuk berbuat zalim lebih lama. Berfikir tentang Sri Lanka dan Albania, kenapa tidak?
[***]