Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ.
Bank Indonesia memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui berbagai instrumen kebijakan moneter.
Namun, dengan nilai tukar rupiah yang berada di level Rp16.150 per dolar AS pada 10 Januari 2025, perlu dilakukan evaluasi mendalam terhadap efektivitas langkah-langkah yang selama ini diambil.
Kebijakan mempertahankan suku bunga kebijakan di level yang cukup tinggi belum mampu menahan depresiasi rupiah, sekaligus memberikan tekanan besar pada sektor riil, termasuk pengusaha dan kelas menengah.
Bank Indonesia (BI) dan pemerintah telah mengidentifikasi beberapa faktor global, seperti terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan penguatan indeks dolar (DXY), sebagai penyebab pelemahan rupiah.
Namun, dari sudut pandang saya, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh BI dan pemerintah untuk menjaga stabilitas rupiah.
Kebijakan BI Terkesan Sudah Jenuh Dalam Efektivitasnya
Langkah BI yang mempertahankan suku bunga kebijakan di level tinggi bertujuan menarik modal asing dan menekan inflasi. Namun, langkah ini tampaknya sudah mencapai titik jenuh dalam efektivitasnya.
Ketergantungan pada suku bunga tinggi justru memperlambat laju pertumbuhan ekonomi, menekan daya beli masyarakat, dan membebani dunia usaha.
Jika dibandingkan dengan negara-negara kawasan, seperti Thailand yang mempertahankan suku bunga acuan di level 2.50 persen dan Malaysia di 3.00 persen, suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) yang saat ini berada di level 6.00 persen menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Meski suku bunga ini bertujuan menarik arus modal asing dan menahan inflasi, efektivitasnya dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tetap diragukan, mengingat nilai tukar masih melemah hingga Rp16.120 per dolar AS. Kebijakan ini menambah tekanan pada sektor riil tanpa hasil yang sebanding dalam stabilitas pasar valuta asing.
Dalam konteks ini, Bank Indonesia perlu berinovasi dan keluar dari pendekatan konvensional. Kebijakan moneter harus lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan situasi global.
Misalnya, BI dapat lebih proaktif dalam mendorong penggunaan instrumen derivatif valas untuk manajemen risiko bagi pelaku usaha, memperluas penerapan sistem pembayaran yang sederhana untuk menarik investasi langsung, atau bahkan menjalin kerja sama dengan bank sentral di negara-negara mitra dagang untuk memperkuat likuiditas rupiah dalam perdagangan internasional.
Selain itu, langkah intervensi pasar valas yang dilakukan BI perlu diimbangi dengan diversifikasi cadangan devisa ke instrumen yang lebih likuid dan strategis. Pendekatan ini akan memberikan fleksibilitas lebih besar bagi BI dalam menghadapi volatilitas pasar.
BI dan Pemerintah Kehilangan Momentum Dalam Menjaga Stabilitas Rupiah?
Di sisi lain, pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk mendukung stabilitas rupiah.
Mengandalkan fundamental ekonomi yang kuat saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan kebijakan yang mendukung efisiensi dan daya saing.
Dengan neraca perdagangan yang saat ini tertekan oleh ketergantungan pada barang impor, diversifikasi ekonomi menjadi langkah yang sangat mendesak. Pemerintah perlu mendorong hilirisasi industri yang berbasis sumber daya alam lokal untuk meningkatkan nilai tambah ekspor.
Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) juga perlu difokuskan pada sektor-sektor strategis yang memberikan dampak jangka panjang terhadap perekonomian.
Reformasi birokrasi dan penyederhanaan regulasi harus lebih diarahkan untuk mendorong kolaborasi antara investor asing dan lokal, menciptakan lapangan kerja, serta mengurangi ketergantungan pada barang impor.
Lebih jauh, pemerintah dapat mengeksplorasi instrumen fiskal baru untuk mendukung stabilitas rupiah. Misalnya, penerapan insentif fiskal berbasis kinerja bagi eksportir yang mampu meningkatkan penerimaan devisa secara signifikan atau pemberlakuan kebijakan wajib valas bagi perusahaan yang memiliki penghasilan dalam dolar.
Tidak Cukup Sinergi antara Bank Indonesia dan Pemerintah
Sinergi antara Bank Indonesia dan pemerintah harus ditingkatkan. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang harmonis menjadi kunci untuk menghadapi tantangan global saat ini.
Salah satu contoh ketidaksinergian adalah ketika Bank Indonesia mengurangi suku bunga kebijakannya melalui relaksasi moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara pemerintah merencanakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), mengurangi subsidi BBM, Tarif Dasar Listrik (TDL), dan gas.
Langkah-langkah fiskal tersebut menciptakan tekanan tambahan pada daya beli masyarakat yang justru bertentangan dengan tujuan pelonggaran moneter BI. Dalam situasi nilai tukar yang terus melemah, BI dan pemerintah harus bekerja sama lebih erat dalam menciptakan kebijakan yang proaktif.
Salah satu contoh konkret adalah menyelaraskan kebijakan subsidi energi dengan kebijakan moneter untuk menjaga daya beli masyarakat tanpa menimbulkan tekanan tambahan pada inflasi.
Lebih penting lagi, BI dan pemerintah harus membangun kepercayaan pasar melalui transparansi kebijakan. Setiap langkah yang diambil harus disertai dengan komunikasi yang jelas kepada pelaku pasar dan masyarakat. Dengan cara ini, ekspektasi negatif terhadap rupiah dapat diminimalkan.
Catatan Utama
Pelemahan nilai tukar rupiah yang mencapai Rp16.150 per dolar AS pada awal 2025 menunjukkan bahwa kebijakan konvensional yang diterapkan Bank Indonesia sudah tidak memadai.
Ketergantungan pada suku bunga tinggi hanya menambah beban pada sektor riil tanpa memberikan dampak signifikan terhadap stabilitas nilai tukar.
Bank Indonesia perlu mengevaluasi kebijakan ini secara kritis dan mencari alternatif yang lebih inovatif, seperti memperkuat instrumen derivatif valas, memperluas kerja sama internasional, dan diversifikasi cadangan devisa.
Sementara itu, pemerintah harus lebih proaktif dalam mendukung stabilitas rupiah melalui reformasi struktural, hilirisasi industri, dan insentif fiskal yang tepat sasaran. Sinergi yang erat antara BI dan pemerintah menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini.
Dengan langkah-langkah inovatif dan koordinasi yang kuat, rupiah diharapkan dapat kembali stabil tanpa mengorbankan sektor riil, pengusaha, dan masyarakat kelas menengah. Inilah saatnya untuk keluar dari kebiasaan lama dan melangkah menuju kebijakan yang lebih adaptif dan berorientasi pada masa depan.
[***]