KedaiPena.Com – Pemerintah mengklaim berhasil menjaga stabilitas ekonomi. Begawan ekonomi Rizal Ramli menilai, stabilitas ekonomi dengan pinjaman semakin besar dan ‘yield’ semakin tinggi berbahaya.
“Memang sepertinya baik dalam jangka pendek, tapi berbahaya untuk jangka menengah dan panjang,” kata Rizal dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com, ditulis Minggu (13/1/2019).
Mengandalkan stabilitas rupiah dengan pinjaman yang semakin besar, surat utang tanggal 3 Januari 2019 Rp28,25 T, dan ‘global bond’ $3M Januari 2019, dengan ‘yield’ yang semakin tinggi bagaikan beri ‘bom waktu’ untuk pemerintah berikutnya.
“Begini kok dibilang pengelolaan ‘prudent’ (hati-hati). Dimana hati-hatinya? Kalau ‘tax ratio tinggi’, 15,6% sesuai target resmi Presiden Jokowi, itu baru prudent,” lanjut dia.
“Itu kok ada yang ngaku-ngaku prestasi hebat soal anggaran? Manipulatif banget sih? Wong penerimaan naik hanya karena asumsi harga minyak dibuat rendah, $48/barel di APBN 2018, ternyata $68/barel,” kata Rizal lagi.
“‘Wong’ ‘tax ratio’ Indonesia rendah banget, dibawah Laos, Filipina, Malaysia. Begitu kok sesumbar,” sambung dia.
Rizal pun merujuk sebuah data ‘tax ratio’ Ia meminta publik melihat garis biru. ‘Tax ratio’ terendah (9,5%) tahun 2018 dibandingkan 2015 (11,6%) atau ketika RR Menko tahun 2000-2001 (12,5%). Bahkan setelah ubah definisi (merah), tetap rendah.
“Itulah mengapa perlu tambah utang terus dengan ‘yield’ tertinggi di kawasan (8,5%), Vietnam hanya 5%,” seru Rizal.
“RI ngutang dengan ‘yield’ tertinggi (8,5%) di kawasan, padahal Vietnam hanya 5%. Bankir-bankir dan ‘boldholder’ asing senang, ya Sri Mulyani dapat bonus hadiah Menkeu terbaik deh. Rakyat dan bangsa dirugikan triliunan. Ini kejahatan kerah putih. Rupiah menguat dengan suntikan bunga pinjaman bunga tinggi,” tandas eks penasehat ekonomi PBB ini.
Laporan: Ranny Supusepa