SRI Mulyani tidak bisa tidur karena takut pendapatan negara daripajak di korupsi. Demikian curahan hati yang disampaikan oleh sang Menteri Keuangan (Menkeu) yang telah 11 bulan menjabat tersebut, di acara Kongres Ke-4 Diaspora Indonesia yang berlangsung di gedung Kota Casablanca, Jakarta (1/7).
Hebat sekali, saya jadi bingung harus berkata apa atas derita Sri Mulyani tersebut. Yang terekam dalam ingatan saya dahulu dirinya sebagai Menkeu zaman SBY ikut bantu ringankan pajak Paulus Tumewu dan Halliburton; ikut bertanggung jawab atas gagalnya Reformasi Pajak Jilid II (2008-2014) bersama Darmin Nasution, sebagai Dirjen pajak era itu.
Sri Mulyani kemudian menjadi ‘exile’ ke Bank Dunia karena divonis DPR Republik Indonesia bertanggung jawab atas mega skandal korupsi Bank Century. Mengapa kini mendadak jadi pahlawan anti korupsi?
Namun bukan masalah “pencitraan murahan†sebagai pahlawan anti korupsi yang jadi pokok bahasan kita, melainkan tentang ucapan Sri Mulyani selanjutnya di forum yang sama. Tentang korupsi dalam hubungannya dengan ilmu ekonomi.
Dalam pidatonya, dengan enteng ia menyebutkan bahwa, korupsi dapat menciptakan krisis ekonomi, seperti yang terjadi di Indonesia 1997/1998.
Saya menggugat pernyataan ini. Mengatakan bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh korupsi, terlalu menyederhanakan masalah. Ini bukti dari pengetahuan yang sangat konvensional dalam memandang kompleksitas realitas perekonomian.
Ada faktor-faktor yang sifatnya ‘endogenous’ dari sistem ekonomi Asia sebelum 1997, yang disampaikan oleh para peneliti alternatif. Dalam buku ‘bunga rampai’ yang berjudul Financial Liberalization and The Asian Crisis (2001), yang disusun oleh trio intelektual dari Cambridge University: Ha-Joon Chang, Gabriel Palma, dan D. Hugh Whittaker, disimpulkan bahwa krisis adalah “hasil dari liberalisasi finansial yang terlewat cepat dan prematur, dalam dunia yang sedang mengalami peningkatan volatilitas dan likuiditas keuangan.
Dalam karya ilmiah yang berjudul ‘Indonesia: from Showcase to Basket Case (1998)’, Rizal Ramli dan Jonathan Pincus (London University) menjelaskan, bahwa penyebab jatuhnya perekonomian Indonesia tahun 1997-1998 (merupakan yang terparah dari negara-negara tetangga yang terimbas krisis finansial atau mata uang Asia 1997) disebabkan oleh serangkaian kesalahan kebijakan ekonomi dan oleh karakter patrimonial pengambilan-kebijakan di penghujung era Suharto.
Salah satu faktor yang menyebabkan krisis semakin parah adalah saat pemerintahan sistem patrimonial Orde Baru tersebut mencoba-coba menjalankan berbagai program liberalisasi finansial.
Sepuluh tahun setelah berlalunya krisis ekonomi di Indonesia dan Asia, pada tahun 2007-2008 terjadi krisis ekonomi yang jauh lebih dahsyat di Amerika Serikat (AS) yang imbasnya terutama ke Eropa dan akhirnya sebagian besar wilayah Dunia yang dikenal sebagai ‘Great Ressesion’ (Resesi Akbar).
Dalam sebuahkarya ilmiah, ‘Policy Research Working Paper 4726’ terbitan Bank Dunia yang berjudul ‘Sub Prime Crisis Implications for Emerging Markets’ (2008), disebutkan, bahwa ‘subprime mortgage’, hipotek perumahan yang menjadi biang kolapsnya sistem finansial AS, dilahirkan dari proses liberalisasi finansial di AS yang dimulai sejak tahun 1980.
Sudah jelas, korupsi bukanlah penyebab utama dari krisis ekonomi yang terjadi dalam 20 tahun belakangan di dunia. Kalau saya sih menduga bila Sri Mulyani sebenarnya tidak tidur karena hal yang lain, yaitu karena perlambatan ekonomi negara yang dipimpinnya.
Janganlah tidak bisa tidur karena takut pendapatan pajak negara dikorupsi. Toh, untuk memberantas korupsi dan penegakan hukumnya sudah disiapkan banyak aparat mulai dari KPK, polisi, kejaksaan, hingga kehakiman.
Bila ada yang mencurigakan tinggal dilaporkan. Sebagai seorang ekonom, Sri Mulyani tugasnya bukan mengawasi korupsi, tapi memastikan kementerian keuangan yang dipimpinnya ikut memompa perekonomian.
Normalnya, ekonom manapun pasti tidak dapat tidur bila ternyata dirinya salah dalam melakukan kebijakan, sehingga akhirnya menyebabkan perlambatan perekonomian. Karena umumnya, bila perlambatan ekonomi dibiarkan berlarut-laruttanpa strategi terobosan untuk membalikkannya, dapat saja berujung pada resesi.
Tidak nendangnya 15 Paket Ekonomi Menko Perekonomian Darmin Nasution, yang berkombinasi dengan kebijakan pengetatan anggaran (‘austerity policy’) dan obok-obok pajak Menkeu Sri Mulyani (realisasi penerimaan pajak, minus amnesti pajak, 2016 hanya 73,6% dari target APBNP 2016, terburuk selama pemerintahan Jokowi) adalah faktor-faktor penentu melambatnya perekonomian Indonesia. Artinya baik Darmin Nasution maupun Sri Mulyani punya andil sebabkan perlambatan ekonomi.
Bukan Sri Mulyani namanya bila tidak coba berkelit. Dalam pernyataan di Kementerian Keuangan (3/7), ia menyatakan, bahwa “mungkin†perlambatan ekonomi 2014-2016 akibat (harga) komoditas masih berimbas pada penurunan daya beli rakyat saat ini. Kali ini harga komoditi ekspor coba dijadikankambing hitam olehnya.
Tapi sayang kali ini ia gagal berkelit. Faktanya harga komoditi-komoditi andalan Indonesia per bulan Juli 2017 malah naik di pasar internasional bila dibandingkan tahun lalu (sumber: tradingeconomics.com). Semisal, harga batubara per Juli 2017 posisinya naik 28% bila dibandingkan dengan posisi per Juli2016.
Harga kelapa sawit per juli 2017 posisinya naik 14,8% bila dibandingkan dengan posisi per Juli 2016. Bahkan harga minyak bumi mentah per Juli 2017 saja posisinya juga naik 9,1% bila dibandingkan dengan posisi per Juli 2016.
Oleh Gede Sandra, Pemerhati Ekonomi Universitas Bung Karno