BICARA adalah satu hal. Sedangkan berbuat hal lainnya lagi. Sayangnya, banyak orang yang seringkali apa yang dilakukan tidak sama bahkan bertentangan dengan yang disampaikan. Kalau sudah begini, stempel yang pas, minimal disebut omdo. Omong doang!
Di acara ‘Welcoming’ alumni penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di Jakarta, Senin malam (7/5/2018), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan tidak takut ditantang berdebat. Ini adalah bicara!
Bagaimana praktiknya? Hingga kini, sudah lebih dari 10 hari, dia tidak (berani) melayani tantangan debat terbuka yang disampaikan ekonom senior Rizal Ramli.
Padahal, Menku Ekuin dan Menkeu era Gus Dur itu hanya menyambut tantangan yang dilontarkan Presiden Jokowi, agar pihak-pihak yang selalu mengkritisi utang luar negeri adu data dan argumen dengan Menkeu Sri.
Sri dan para hulubalangnya di Kemenkeu boleh saja berdalih ini-itu untuk menghindar dari debat soal utang Indonesia. Pastinya, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan sampai Februari 2018, Utang Luar Negeri (ULN) mencapai US$352,2 miliar. Dengan kurs BI hari ini (8/5) yang Rp14.036/US$, maka utang itu senilai Rp4.943 triliun lebih. Hampir Rp5.000 triliun!
Kalau Menkeu dan para pemujanya ngotot berpendapat angka hampir Rp5.000 triliun masih tetap aman dan tidak masalah, maka benar-benar sulit membuat kelompok ini menyadari betapa sudah gawatnya utang Indonesia.
Apalagi, lagi-lagi, seperti biasa, mereka menjadikan rasio utang dan PDB yang angkanya masih jauh dari 60% sebagai patokan. Sikap ‘ngeyel’ bin ‘ndableg’ itu tetap mereka dekap erat, kendati para ekonom jujur dan waras sudah lama mengkritisi, bahwa menisbahkan utang dengan PDB bukan cuma tidak pas, tapi malah sesat dan menyesatkan.
Semestinya, mengukur utang harus dinisbatkan dengan kemampuan sebuah negara dalam membayar utang, atau ‘debt to service ratio’ (DSR). Sayangnya, ya itu tadi, Sri dan para pengekornya lebih suka menggunakan patokan versi junjungan asingnya yang melenakan dan menyesatkan.
Bagaimana tidak melenakan, kalau setiap saat rakyat benaknya dipompa dengan anggapan utang masih aman karena rasionnya masih jauh dari 60% PDB? Tanpa disadari, tahu-tahu Indonesia sudah masuk ‘debt trap’, sehingga harus gali lubang tutup jurang.
Tapi sudahlah, memang begitu karakteristik para penganut dan pejuang neolib. Buat mereka, apa saja yang tidak senada apalagi bertabrakan dengan keinginan dan kepentingan IMF dan Bank Dunia sebagai juragannya, pasti bakal ditolak mentah-mentah. Mereka tidak peduli, bahwa kepentingan dan keinginan junjungannya itu sangat merugikan bangsa dan rakyatnya sendiri.
Prudent dari ‘Hong Kong’?!
Perempuan mantan petinggi IMF dan Bank Dunia juga berulang-ulang mengklaim Pemerintah mengelola utang dengan ‘prudent’ agar anggaran bisa terjaga kesinambungannya. ‘Prudent’ apanya, kalau sejumlah indikator penting justru negatif?
BPS melaporkan sejak Desember 2017 hingga Februari 2018 neraca neraca perdagangan Indonesia selalu mengalami defisit. Kalau dalam dunia sepak boleh, defisit kali ini mencetak ‘hat-trick’. Pada Februari defisitnya sebesar US$11 juta. Lalu, Desember 2017 dan Januari 2018, masing-masing defisit US$756 juta dan US$220 juta. Jika diakumulasi, maka ‘hat-trick’ defisit neraca perdagangan sudah menembus US$1,1 miliar dolar AS. Top, kan? jadi, apanya yang ‘prudent’? ‘Prudent’ dari ‘Hong Kong’?!
Keseimbangan primer di APBN dalam beberapa tahun terkahir juga selalu defisit. Pada APBN 2018 dipatok defisit Rp87,3 triliun. Jangan tanya lagi defisit volume APBN yang memang sudah langganan dari tahun ke tahun. Tahun ini, defisit anggaran mencapai Rp325,9 triliun. Saking rajinnya bikin defisit APBBN, hingga tak berlebihan bila Sri dijuluki madam defisit (APBN).
Lalu, berkesinambungan seperti apa yang Sri maksudkan? ‘Sustain’ untuk terus bayar cicilan pokok dan bunga utang? Pada 2018, Pemerintah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp637,8 triliun untuk bayar utang.
Jumlah itu terdiri atas pembayaran bunga utang Rp238,6 trilliun, dan cicilan pokok utang Rp399,2 triliun. Angka ini jauh di atas anggaran untuk pendidikan yang Rp444,1 triliun dan infrastruktur yang amat dibangga-banggakan, sebesar Rp410,7 triliun.
Sebagai penganut neolib sejati, tidak mengherankan kalau Sri menyusun APBN dengan prinsip ‘creditors first’. Perkara untuk itu rakyat harus terus diperas dengan bermacam pajak dan dicekik lewat kenaikan berbagai harga, itu soal lain. Itu sih DL, alias derita ‘loe’!
Jurus ngeles
Yang lebih menyedihkan, Menkeu yang konon terbaik Asia dan menteri terbaik dunia itu justru minta tolong kepada anak-anak baru lulus dari program LPDP. Namun untuk menutupi ketidakberaniannya berdebat, dia menggunakan diksi yang hebat-hebat.
“Karena anda sudah pasca sarjana, maka anda memiliki tanggung jawab luar biasa besar. Saya ingin menantang anda untuk bersuara, ‘give your voice of reason’. Tidak ada yang saya takuti, yang saya takuti adalah cara berpikir terutama generasi muda yang tidak mampu berpikir terbuka,†ujar Sri di hadapan anak-anak itu dengan gagah.
Hehehe… Sungguh suatu jurus ngeles alias berkelit yang ampuh dan dahsyat. Dalam hal merangkai kata-kata, perempuan yang namanya disebut-sebut dalam persidangan skandal Bank Century ini memang dikenal jagoan.
Pada konteks ini, ngelesnya tadi bahkan membuahkan dua hasil sekaligus. Pertama, dia merasa bisa lolos dan tidak perlu berdebat secara terbuka soal utang luar negeri yang dia buat. Kedua, dia bisa membius dan memerintahkan anak-anak baru lulus tadi menjadi juru bicara sekaligus pembelanya menghadapi pihak-pihak yang mempersoalkan utang Indonesia.
Singkat kata, pada perkara debat utang, Sri sepertinya sadar betul bahwa dia mengalami apa yang disebut maju kena mundur kena. Nekat maju, dia bakal ketahuan rajin menimbun utang dalam jumlah amat mengerikan.
Dia juga bakal ketahuan kalau utang-utang yang dicetaknya berbunga supermahal sehingga amat membebani APBN, membebani negara dan rakyat Indonesia.
Kalau nekat berdebat, dia juga akan ketahuan selama ini meninabobokan publik dengan data yang tidak lengkap dan bermacam dalih, bahwa utang Indonesia masih tetap aman. Jadi, mari terus berutang!
Di sisi lain, kalau dia mundur atau menolak, sama saja artinya melawan perintah bosnya, Presiden Jokowi. Pasalnya, Jokowi dengan pe-de sudah melayangkan tantangan terbuka kepada siapa saja untuk adu argumen dan adu data dengan Menkeunya. Tantangan itu sekaligus menunjukkan posisi Presiden, bahwa dia sangat bangga punya Menkeu ‘hebat’.
Aneh, benar-benar aneh
Tapi sampai di sini, ada satu hal yang membuat saya gagal paham. Kok bisa ya, Menkeu tidak melaksanakan perintah Presiden? Yang lebih mengherankan lagi, kok bisa Presiden adem-ayem saja perintahnya tidak dilaksanakan bawahannya. Buktinya, sampai sekarang Jokowi tidak kunjung mengeluarkan pernyataan yang eksplisit memerintahkan Menkeunya menyambut tantangan debat yang dia picu.
Bukan itu saja. Penolakan atas perintah itu sejatinya juga mempermalukan Presiden. Ibaratnya, Jokowi sudah sesumbar punya jagoan bagus, sakti mandraguna, yang siap menghadapi siapa pun lawan. Namun begitu ada lawan yang menyambut tantangan, eh si jagoan yang dibangga-banggakan sudah keok sebelum bertanding.
Tapi, lagi-lagi memang aneh. Sudah perintah ditentang bahkan dipermalukan, kok Presiden anteng-anteng saja, ya? Aneh. Benar-benar aneh!
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)