KedaiPena.Com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Ketua MPR Zulkifli Hasan yang saling melontarkan pernyataan tajam ihwal utang pemerintah.
Awalnya Zulkifli dalam pidato sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Kamis pekan lalu, 16 Agustus 2018 menyampaikan bahwa besar pembayaran pokok utang Pemerintah yang jatuh tempo tahun 2018 sebesar Rp 400 triliun.
Ia menyebut angka itu tidak wajar. Pasalnya, menurut dia, angka tersebut tujuh kali lebih besar dari dana desa dan enam kali lebih besar dari anggaran kesehatan.
Sementara, Sri Mulyani menilai pernyataan Zulkifli bermuatan politis dan menyesatkan. Ia mengatakan bahwa pemerintah selama ini sangat hati-hati dalam mengelola utang.
Menurut Sri Mulyani, pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017.
Dari jumlah tersebut, 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum era Presiden Jokowi.
“Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu,” ujar Sri Mulyani, seperti dikutip dari status akun Facebook resminya, Senin, 20 Agustus 2018.
Zulkifli Hasan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional seperti diketahui pernah menjabat Menteri kehutanan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mengemban jabatan itu selama sekitar lima tahun dari 22 Oktober 2009-1 Oktober 2014.
Eks Menko Maritim Rizal Ramli mengomentari sikap Sri Mulyani yang hanya berani dengan Zulhas, bukan sesama ekonom seperti dirinya.
“Saya bingung kok (Sri Mulyani) beraninya cuma sama Zulkifli Hasan, berani sama Rizal Ramli, dong,” ujar Rizal seusai menghadiri acara Hari Ulang Tahun PAN di Kantor Dewan Pimpinan Pusat PAN, Jakarta, belum lama ini.
Komentar Rizal merujuk kepada sikap Sri Mulyani yang beberapa kali tak mengacuhkan ajakan debat yang dilontarkan Rizal. Lantaran kerap diabaikan, Rizal kini enggan mengajak Sri Mulyani berdiskusi ekonomi.
“Dia kan enggak tertarik. Jokowi (Presiden Joko Widodo) sudah perintahkan, tapi dia tidak punya nyali sama kami. Mana berani sama saya,” ujar Rizal Ramli.
Rizal juga menilai Sri Mulyani seringkali menjelaskan masalah dengan data yang selektif. Padahal, kenyataannya kondisi perekonomian Indonesia, menurut Rizal sudah lampu ‘setengah merah’.
“Maksudnya hampir semua indikator makro ekonomi itu negatif,” Rizal menambahkan.
Contohnya, kata Rizal, tampak dari neraca perdagangan, neraca berjalan, hingga neraca keuangan yang mengalami defisit. Ia juga meyakini pada akhir tahun 2018 keseimbangan primer juga akan negatif.
“Pemerintah terlalu banyak ngibul,” ujarnya.
Sementara Sekertaris Jenderal (Sekjen) Pro Demokrasi Satyo P mengingatkan bahwa Sri Mulyani juga bertanggung jawab dengan utang di periode kepemimpinan SBY.
“Perlu diingat SMI juga yang menjadi Menteri Keuangan di era SBY,” tegas dia.
Ia pun menegaskan bahwa Sri Mulyani gagal mengelola keuangan negara. Selain utang yang membengkak, kejatuhan nilai tukar rupiah menjadi bukti kegagalan mantan managing director World Bank itu.
“Maka sangat mungkin setelah utang yang membengkak, rupiah akan semakin tertekan akibat pemerintah banyak membutuhkan USD dan dalam seketika terbang keluar negeri (untuk mencari utang). Sehingga kesimpulannya justru pemerintah lah yang mengakibatkan mata uang rupiah semakin melemah terhadap mata uang asing khususnya USD dan menggerus cadangan devisa,” papar Satyo.
Sementara karena pemerintah membutuhkan anggaran mereka melakukan austerity atau pengetatan anggaran, menambah utang, menaikan harga komoditas serta memangkas subsidi. Hasilnya daya beli rakyat tergerus dan mengakibatkan inflasi.
“SMI sebagai kreator tim ekonomi selalu melakukan kebijakan yang text book dan miskin terobosan, terbukti hanya mengandalkan penerimaan hanya dari sumber konvensional sembari memungut surat utang yang dijual kepada masyarakat dan juga surat utang dalam bentuk mata uang asing sehingga bebas menentukan besaran bunga yang pada akhirnya menjadi beban negara,” beber dia.
Ketika negara membutuhkan cash keras, SMI membuat aturan dan memaksa badan usaha negara berbisnis dengan rakyat sehingga rakyat selalu menjadi obyek penderita karena harus membayar kebutuhan overhead semakin mahal dari hari ke hari.
Contohnya dengan penghapusan subsidi BBM yang ternyata juga sangat kecil sekali nilai yang diberikan pemerintah Jokowi untuk alasan subsidi. Dan contoh lainnya adalah rencana penghapusan DMO utk PLN sehingga memaksa PLN akan segera menaikkan harga kwh jika mereka tidak ingin segera bangkrut.
Pada akhirnya rakyatlah yang mesti membayar kenaikan harga harga tersebut, pendapatan masyarakat yang sudah lemah semakin berkurang sehingga uang yang dapat dibawa pulang oleh rakyat dari gajinya semakin kecil nilainya.
“Inilah neoliberalisme yang dijalankan oleh rezim Jokowi melalui ideolognya SMI dan Darmin Nasution. Mereka selalu melakukan propaganda menyesatkan tentang kemajuan ekonomi dan kesejahteraan karena neoliberalisme tidak mungkin bicara keadilan,” tandas Satyo.
Laporan: Irfan Murpratomo