Artikel ini ditulis oleh Memet Hakim, Pengamat Sosial.
Kritik campur nyinyir kembali menerjang Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI. Menteri yang dikenal gemar cari utang ini, terdampak kasus “Rafael Alun”. Gegara anaknya, Mario Dandy menganiaya David anaknya pengurus Ansor, akhirnya terbuka kedok hedonnya.
Gaya hedonis ini ternyata bukan cuma berhenti disitu, kekayaan para petinggi pun disorot, terlihat bagaimana kekayaan wakil menteri Keuangan dan para Dirjennya. Semua penambahan kekayaannya setiap tahun membuat rakyat jelata tercengang.
Kemudian muncul lagi nama Eko Darmanto, Kepala Bea Cukai DIY yang super kaya, sehingga akhirnya masyarakat menyimpulkan sendiri,bahwa pajak yang dikumpulkan dari rakyat kecil digunakan untuk memperkaya mereka. Memang tidak semua petugas pajak dan Bea cukai seperti itu, tapi “image” yang telah terbentuk banyak benarnya dan sulit diperbaiki.
Sayangnya Sri Mulyani hanya bisa memaklumi perilakunya bawahannya. Ini kesalahan sang Menteri tentunya. Tunjangan yg aduhai, ternyata tidak membuat pegawai Keuangan menahan diri. Banyak yang meminta dan mengharapkan Sri Mulyani mundur, termasuk pengawai pajak itu sendiri, sebagai rasa tanggung jawab sebagai pemimpin.
Dilain pihak Sri mulyani juga harus ikut bertanggung jawab atas kecilnya peran BUMN mendukung APBN. Kenapa? Karena Kemenkeu adalah pemegang saham seluruh BUMN yang asetnya sekitar 1.000 trilyun. Menkeu harus berani menanyakan kenapa laba BUMN dan dividennya sedikit sekali. Apalagi dari sektor pertambangan dan perkebunan. Hal ini perlu dibahas, bagaimana uang yang ribuan trillyun bisa mengalir begitu saja keluar negeri, tanpa ada yang nyangkut di dalam negeri.
Tidak ada salahnya permintaan mundur itu dipertimbangkan, dari pada dikenang sebagai Menteri tukang hutang, negara semakin gede hutangnya, pegawainya semakin kaya.
Bandung, Maret 2023
[***]