SAYA sangat tertarik dengan penghargaan yang diterima Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati (SMI) pada acara The World Government Summit 2018 dalam kategori Best Minister Awards. Karena sepengetahuan saya, SMI adalah Menteri Keuangan yang memiliki banyak masalah dalam hal integritas dan keberpihakan. Tentangnya saya kira luput dari penilaian lembaga The World Government Summit.
Masalah Integritas dan Keberpihakan
Secara integritas SMI pernah terjerat Skandal Bank Century, Skandal Pajak Paulus Tumewu, Skandal Pajak Halliburton, hingga Skandal Yield Surat Utang. Kita ingat pada tahun 2010 SMI “diselamatkan†Bank Dunia setelah divonis oleh DPR sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam Skandal Bank Century yang merugikan Negara Rp 6,7 triliun. Dalam Skandal Pajak Paulus Tumewu, keterlibatan SMI atas disposisinya kepada Jaksa Agung untuk membebaskan Paulus Tumewu dari kasus pajak yang rugikan negara Rp 399 miliar.
Dalam Skandal Pajak Halliburton, SMI menyetujui permohonan Dirjen Pajak saat itu, Darmin Nasution, untuk mengurangi pembayaran pajak Halliburton hingga Rp 21,7 miliar. Dalam Skandal Yield Surat Utang, saya sudah hitung sendiri, akibat memasang yield surat utang negara yang ketinggian dalam periode 2006-2010 dan 2016-2017, SMI telah merugikan Negara Indonesia (tapi menguntungkan bond investor) Rp 190 triliun dan USD 11 miliar. Sayang Skandal yang terakhir ini belum lagi menjadi sorotan publik, mungkin karena modus operandinya yang sukar dipahami awam.
Masalah keberpihakan SMI terhadap rakyat Indonesia, karena garis ekonomi neoliberal yang disandangnya. Saya rasa sudah pasti kebijakan yang dikeluarkannya tidak akan selaras dengan prinsip Keadilan Sosial. Kebijakan neoliberal akan selalu mempertahankan liberalisasi finansial, liberalisasi perdagangan, fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan pengetatan anggaran (pemotongan anggaran publik dan pengejaran pajak usaha kecil). Semua kebijakan yang akan memperburuk ketimpangan
pendapatan di suatu negara. Buktinya, selama SMI menjabat sebagai Menteri Keuangan SBY tahun 2005-2010, indeks Gini Ratio terus merosot dari 0,36 ke 0,38. Kini selama 2 tahun (2016-2017) di Kabinet Jokowi, indeks Ginio Ratio relatif stagnan di 0,39 –meskipun Presiden Jokowi sejak 2014 hingga 2016 sukses turunkan Gini ratio dari 0,41 ke 0,39 pada era Menkeu Bambang Brodjonegoro. Seharusnya bisa lebih cepat (penurunan hanya 0,03 selama semester terakhir) karena Jokowi sudah berusaha keras melakukan kebijakan yang berkeadilan seperti pembagian sertifikat tanah.
Kebijakan austerity policy yang dilancarkan oleh SMI pada 2 tahun pemerintahan Jokowi, selain menghambat penurunan indeks Gini Ratio, juga melemahkan daya beli dan daya saing ekspor. Tentang penurunan daya beli juga telah dikonfirmasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Jokowi sendiri juga mengonfirmasi rendahnya posisi ekspor kita dari negara-negara tetangga. Akankah Presiden terbuai dengan berbagai penghargaan yang mengilusi realitas sebenarnya perekonomian kita?
Menteri Terbaik Kelompok Neoliberal
Kemudian saya coba periksa siapa sebenarnya lembaga The World Government Summit. Setelah beberapa menit menelusuri di internet, dalam website resmi mereka, disebutkan bahwa lembaga ini adalah “sebuah badan non-pemerintah yang memiliki aspirasi untuk mengembangkan kehidupan warga di seluruh dunia dengan jalan menguatkan organisasi-organisasi dengan pengetahuan untuk menuju masa depan yang lebih baik.†Sangat indah maksud dan tujuan dari lembaga ini. Ingin menjadi forum semacam World Economic Forum (WEF) versi Timur Tengah-nya.
Kemudian saya telusuri juga tentang penghargaan Best Minister, disebutkan bahwa ini adalah mengenali upaya-upaya eksepsional dari menteri-menteri dalam mendemonstrasikan keahliannya di sector public, mengimplementasikan reformasi-reformasi dan menginspirasi pemimpin-pemimpin dan penyedia jasa lainnya untuk mempromosiakn inovasi dalam domain mereka, agar dapat lebih baik melayani warganya. Dan ternyata, sejak pertama kali diberikan pada 2016, lembaga ini dibantu oleh Thomson Reuters (sebuah perusahaan informasi keuangan yang terdaftar di Wallstreet) dalam melakukan seleksi nama menteri terbaik setiap tahunnya dari berbagai negara.
Berdasarkan infografis yang diterbitkan oleh lembaga World Government Summit, menyebutkan bahwa SMI terpilih dari seluruh dunia karena berhasil menurunkan kemiskinan sebesar 40 persen. Kita akan ukur melalui data BPS. Sri Mulyani mulai menjabat akhir Juli 2016, kemiskinan penduduk Indonesia saat itu 27,7 juta atau 10,7%. Kemudian per September 2017 sebanyak 26,6 juta orang atau 10,12% penduduk. Memang turun, tapi hanya tidak sampai 4%. Bila diukur selama 5 tahun terakhir data kemiskinan per 2013-2014 mencapai 28,2 juta (11,25%), turun juga tetapi hanya 5,7%. Jadi saya tidak dapat melihat darimana angka 40% penurunan kemiskinan yang dimaksud World Government Summit untuk keberhasilan SMI ini. Lagipula, Dunia harus tahu bahwa standar kemiskinan Indonesia sangat rendah (kurang dari US$ 1 perhari), setengah dari standar Dunia (kurang dari US$ 2 perhari). Bila digunakan standar dunia, alhasil jumlah kemiskinan bisa meningkar 3-4 kali lipat dari nilai sekarang.
Kemudian katanya SMI berhasil mengurangi ketimpangan pendapatan. Faktanya yang terjadi adalah kebijakan auterity policy yang dilancarkan SMI kepada masyarakat menengah ke bawah (pencabutan subsidi, penaikkan PNBP, pajak usaha kecil) telah menghambat program berkeadilan yang dilancarkan Jokowi (seperti pembagian sertifikat). Memang ketimpangan turun, tapi hanya 0,03%. Pada era sebelum SMI, Menkeu Bambang Brodjonegoro malah berhasil turunkan 0,2%, dari 0,41 ke 0,39. Seharusnya Bambang Brodjo yang dapat penghargaan. Angka 0,39 capaian SMI saat ini, masih sangat jauh dari standar indeks Gini Ratio negara-negara Welfare State yang sekitar 0,29. Jadi jelas teman-teman di World Government Summit telah melakukan penilaian yang salah. Atau memang standar neoliberal terhadap ketimpangan pendapatan sedangkal itu?
Selain itu mereka juga katakan SMI berhasil meningkatkan lapangan kerja. Ya meningkat 2,6 juta (mayoritas disumbang oleh proyek infrastruktur Jokowi), tapi struktur ketenaga kerjaan masih sangat timpang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal, 69 juta orang (57%), masih lebih besar dari sektor formal 52 juta (42,9%). Masih terdapat 7 juta penganggur, lapisan rakyat yang bahkan tidak terserap sektor informal yang berkerja kurang dari 1 jam seminggu (wajarkah dengan standar Dunia?).
Saya tidak mengetahui apa ukuran peningkatan transparansi yang dimaksud lembaga World Government Summit, tapi berdasarkan opini dari pimpinan Transparancy International (TI), peningkatan indeks transparansi Indonesia sebanyak 5 poin selama lima tahun terakhir masih dinilai terlalu lambat untuk mencapai target 50 di tahun 2019. Itupun juga buka pencapaian dari SMI sendiri, ada Menkeu-Menkeu lain sebelum era SMI yang juga berjasa.
Karena isu utang adalah yang paling bombastis. Semua publik di Indonesia menjadi saksi para pejabat berkilah, bersilat lidah, demi melindungi penambahan utang yang dibuat SMI secara dramatis. Sama sekali tidak ada pengurangan utang sebanyak 50%. Utang Indonesia terus bertambah di era SMI. Pada akhir tahun 2016, posisi utang kita masih di level USD 154 miliar. Kini di tahun 2018, posisi utang pemerintah sudah bertambah USD 22 miliar ke level USD 176 miliar. Sepanjang sejarah Republik, utang berkurang hanya terjadi pada era Gus Dur. Data yang diluncurkan lembaga World Government (yang bukan Government) Summit sangat tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Ya untuk cadangan devisa saya setuju lah, memang terus membesar. Tapi ini adalah tren yang umum dari tahun ke tahun seiring pertumbuhan ekonomi. Perlu dicatat, itu bukan semata kerja Menkeu, Bank Indonesia yang independen dari Pemerintah, di bawah Agus Martowardoyo, tentu harus diberikan apresiasi lebih besar.
Fakta terpentingnya, SMI adalah menteri keuangan terbaik di dunia bagi para investor pasar uang. Orang-orang terkaya dunia, para kelompok 1% penduduk terkaya yang mengusai mayoritas asset dunia, adalah para penguasa pasar uang dunia. Mereka adalah kelompok yang paling diuntungkan dari sistem neoliberalisme di Indonesia.
Kebanyakan orang pasti mengerti, bahwa SMI adalah srikandi neoliberal terbaik yang pernah dimiliki oleh mereka. Maka untuk memastikan sistem ini tetap menguasai Indonesia, maka sosok SMI haruslah mereka kampanyekan dengan sekuat tenaga. Tapi dengan catatan. SMI tetap loyal menguntungkan kaum 1% dunia (Salah satunya dengan memasang bunga lebih tinggi dari Vietnam dan Filipina 1-3% selama 7 tahun berkarir sebagai Menteri Keuangan). Tidak ada makan siang yang gratis.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan