SUDAH lewat sepuluh hari, sejak tantangan Presiden Jokowi kepada publik yang kritis terhadap utang pemerintah untuk beradu data dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani direspon oleh ekonom senior Rizal Ramli (RR).
RR menyanggupi untuk beradu data dalam suatu debat terbuka dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (SMI) asalkan disiarkan secara live oleh stasiun televisi.
Sejumlah stasiun televisi, media-media online, bahkan para tokoh, termasuk Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan berbagai organisasi massa pun kemudian menawarkan diri menjadi penyelenggara debat antara RR dan SMI tersebut.
Tokoh dari kubu pendukung Jokowi seperti Ketua Umum PPP Romahurmuziy juga mendukung terjadinya debat tersebut, karena menurutnya dapat mencerdaskan publik.
Dari kalangan oposisi, senada, mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier juga mendukung debat terselenggara agar soal utang ini terjelaskan kepada publik.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon bahkan lebih jauh lagi meramalkan, bahwa SMI pasti kalah dari RR bila debat terjadi. Dan masih banyak lagi dukungan para tokoh lain untuk terselenggaranya debat.
Sayangnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melalui humasnya menolak untuk mewujudkan debat terbuka ini dengan alasan SMI sibuk bekerja.
Alasan sibuk juga dikemukakan para buzzer pembela SMI di media sosial untuk menghindari debat. Yang tidak masuk akal, ada beberapa orang pendukung SMI yang menawarkan diri menggantikan berdebat dengan RR, meskipun kompetensi mereka dalam ilmu ekonomi makro meragukan.
Menkeu SMI sendiri, ketika ditanya awak media tentang peluang terjadinya debat ini, ia malah tersenyum, tidak menjawab apapun, dan kemudian berlalu. Kami sendiri tidak tahu apakah Presiden Jokowi sadar, bahwa tindakan SMI ini adalah pembangkangan terbuka terhadap dirinya.
Perlu diketahui oleh Jokowi, ilmu ekonomi neo liberal yang dianut SMI (dan para mentor-gurunya, Berkeley Mafia) adalah juga pembangkangan terhadap cita-cita Bangsa Indonesia di Pembukaan UUD 1945.
Karena ekonomi neo liberal yang diterapkan di Indonesia selama setengah abad terakhir (1967-2018) telah menyebabkan kesejahteraan rakyat Indonesia selalu tertinggal dari tetangga-tetangga di Asia (seperti Jepang, Singapura, Taiwan, Tiongkok, Malaysia dan sekarang Vietnam) dan menyebabkan ketimpangan pendapatan masyarakat Indonesia termasuk yang terburuk di dunia.
Posisi ideologis RR jelas, sebagai ekonom kerakyatan, dirinya menolak neo liberal berkuasa kembali di Indonesia (dan menentang siapapun ekonom yang berusaha langgengkan neo liberal, termasuk SMI) agar rakyat dapat meningkatkan kesejahteraan mengejar negara-negara tetangga dan merasakan pendapatan yang lebih adil dan merata.
Tapi apapun itu, akibat dari keengganan SMI melayani RR beradu data, maka tantangan (jualan) Jokowi sepuluh hari lalu menjadi kadaluwarsa. Alias tidak laku lagi.
Artinya ke depannya, bila Presiden Jokowi menantang-nantang publik lagi di isu lain, orang dapat saja menganggap Jokowi tidak serius. Dengan alasan, wong yang sebelumnya saja tidak konkret, masa kali ini mau kita seriusin.
Bila sudah begini wibawa Presiden pun jatuh, ucapannya tidak lagi bertuah. Dan ini semua disebabkan oleh SMI, si “Menteri Batok Kelapa†(meminjam istilah Anwar Nasution yang belum lama ini menyindir SMI sebagai menteri yang hanya bermodal batok kelapa keliling dunia mencari utang).
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan