SETELAH merugikan Indonesia sebesar Rp 121 triliun dan USD 6,7 miliar pada periode tahun 2006 hingga 2010 akibat memasang yield surat utang (bond) ketinggian, Sri Mulyani kembali mengulang aksinya itu saat menjabat Menteri Keuangan Jokowi (2016-2018).
Selama hampir 2 tahun menjabat, Sri Mulyani telah memasang yield surat utang (bond) ketinggian, dibanding negara-negara sekawasan yang credit rating-nya mirip seperti Vietnam dan Filipina.
Di bawah ini adalah tabel yang menunjukkan miripnya rating Indonesia dibanding Vietnam dan Filipina dan perbandingan yield dari surat utang bertenor 10 tahun ketiganya.
Tampak bahwa dengan Vietnam yang ratingnya masih di bawah Indonesia, terdapat selisih yield hingga 1,64%. Sedangkan dengan Filipina yang ratingnya relatif mirip, terdapat selisih sebesar 1,46%.
Bila diambil nilai tengahnya, maka yield Indonesia ketinggian sekitar 1,55% dari kedua negara tersebut.
Sekarang akan kami coba perkirakan (estimasi) kerugian Pemerintah Indonesia akibat yield yang ketinggian tersebut.
Di sini hanya akan dihitung 3 jenis bond yang diterbitkan, yaitu: a) 14 buah zero coupon bond dengan tenor 3 bulan hingga 1 tahun, senilai Rp 95,3 triliun; b) 8 buah fixed coupon bond (IDR) dengan tenor 3 tahun hingga 30 tahun, senilai Rp 293,5 triliun; dan c) 13 buah fixed coupon bond (USD) dengan tenor 5 tahun hingga 30 tahun, senilai USD 17,2 miliar.
Kerugian untuk zero coupon bond dihitung dari selisih harga bond dengan yield yang faktual dan yield yang seharusnya dipasang (lebih rendah 1,55%), menghasilkan Rp 1,01 triliun. Kerugian untuk fixed coupon bond (IDR) dihitung dari perkalian antara selisih yield dengan outstanding bond dan dengan tenor, menghasilkan Rp 68,3 triliun.
Kerugian untuk fixed coupon bond (USD) dihitung dari perkalian antara selisih yield dengan outstanding bond dan dengan tenor, menghasilkan USD 4,8 miliar.
Jadi secara keseluruhan kerugian yang dialami Indonesia akibat kebijakan Menkeu Sri Mulyani memasang yield ketinggian 1,55%, adalah sebesar Rp 69,31 trilliun dan USD 4,8 miliar. Yang sebagian besarnya dibayarkan dalam bentuk bunga (kupon) selama 30 tahun ke depan.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)