SETELAH satu tahun Sri Mulyani Indrawati (SMI) menjabat sebagai Menteri Keuangan terbaca bahwa kebijakan-kebijakannya hanya fokus kepada pemotongan anggaran dan penarikan pajak. Dalam waktu hanya satu minggu setelah dilantik sebagai Menteri Keuangan, SMI memotong belanja APBN 2016 sebesar Rp 133,8 triliun setelah Menteri Keuangan sebelumnya Bambang Brojonegoro juga telah memotong sebesar Rp50,02 triliun. Sehingga total potongan untuk APBN 2016 menjadi Rp183,82 triliun.
Kebijakan ekonomi seperti itu dikenal sebagai kebijakan ‘austerity’ atau penghematan yang merupakan prinsip dari IMF yang diterapkan di mana-mana dalam “menolong ” (atau menjerumuskan?) perekonomian suatu negara yang sedang dalam kesulitan.
Seperti di Argentina di tahun 1991-2002, di Indonesia 1997-1998 dan terakhir di Yunani 2009 sampai saat ini dan semuanya gagal. Campur tangan IMF kepada krisis ekonomi dengan model ‘austerity’ itu malahan membuat negara-negara tersebut terjerumus ke dalam krisis ekonomi yang lebih dalam. Sedangkan AS sendiri pada waktu mengalami krisis ekonomi ditahun 2008 justru menerapkan prinsip yang sebaliknya yaitu memberikan stimulus ekonomi atau ‘countercyclical economic policy’ dan terbukti berhasil keluar dari krisis ekonomi dengan selamat dan dapat mengurangi tingkat pengangguran dengan signifikan.
Argentina yang dalam periode 1975 -1990 mengalami kekacauan ekonomi sampai terjadi inflasi 300 persen setiap tahun, akhirnya mengundang campur tangan IMF. Lembaga ini kemudia mengawasi, mengarahkan dan memberikan pinjaman dengan memberikan syarat yang ketat kepada Argentina sejak 1991 sampai dengan 2002. Awalnya berjalan dengan baik , Argentina tumbuh dengan stabil 6 perseb per tahun dengan inflasi yang rendah. Tetapi tahun 1994 mulai mengalami kesulitan fiskal dan 1998 mengalami depresi besar dan puncaknya Desember 2001 dan Januari 2002 terjadi kerusuhan sosial.
Argentina gagal membayar utang luar negerinya sebesar USD 132 miliar. Dalam kondisi seperti itu IMF memaksa Argentina intuk membayar hutangnya sebesar USD 13 miliar.
Walaupun ada banyak sebab terjadinya kegagalan ekonomi Argentina tersebut, antara lain adalah karena mata uang Peso-nya diikat dengan kurs tetap dengan US Dollar, namun semua kebijakan ekonomi Argentina saat itu selalu berada dalam pengarahan, pengawasan, nasehat dan bantuan (‘loan’) IMF. Lembaga ini akhirnya mengakui kesalahannya dalam menangani ekonomi Argentina itu .
Tetapi anehnya menjelang terjadinya krisis ekonomi di Argentina itu IMF dan AS masih memuji-muji ekonomi Argentina. Ini sama persis dengan menjelang terjadinya krisis ekonomi di Indonesia 1997-1998 Bank Dunis masih memuji perekonomian Indonesia.
Namun walaupun Argentina mengalami situasi yang demikian buruk ada satu hal yang pasti dan kontradiktif yaitu utang Argentina kepada IMF dan kreditor lainnya tetap harus dibayar dengan tepat waktu dan tepat jumlah tanpa restrukturisasi dan tanpa negosiasi. ‘Creditors First’!
Dalam krisis ekonomi di Indonesia 1997-1998 , IMF juga campur tangan atas undangan menteri ekonomi Presiden Suharto. Managing Director IMF waktu itu Michael Camdessus sebelum bertemu dengan Presiden Suharto mengundang beberapa ekonom Indonesia untuk mendiskusikan kondisi terakhir ekonomi kita. Dalam diskusi itu DR Rizal Ramli satu-satunya ekonom kita yang menolak campur tangan IMF dalam menyelamatkan krisis ekonomi kta karena melihat pengalaman IMF dalam “membantu” negara-negara Amerika Latin dalam mengatasi krisis ekonomi mereka ternyata gagal dan membuat ekonomi mereka menjadi lebih parah.
Dalam penjelasannya kepada wartawan, DR Rizal Ramli bahkan mengatakan bahwa terjadinya kasus skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang ratusan triliun itu terjadi akibat dari tekanan IMF.
Yang pertama IMF menekan agar 16 bank kecil dibubarkan (dilikuidasi). Walaupun mereka ini bank kecil, tetapi likuidasi itu membuat masyarakat tidak mempercayai sistim perbankan kita.
Akibatnya terjadi penarikan uang besar-besaran (‘rush’) yang menjalar ke bank-bank besar seperti BCA dan Danamon. Ini mengakibatkan BI harus menyuntikan ratusan triliun kepada puluhan bank yang bermasalah.
Yang kedua IMF menekan agar tingkat bunga dinaikkan dari 18 menjadi 80 persen. Hal ini mengakibatkan perusahaan-perusahaa yang tadinya sehat menjadi kolaps.
Yang ketiga IMF menaikkan harga BBM pada tanggal 1 Mei 1998, sebesar 74 persen. Dua hari sebelum dinaikkan DR Rizal Ramli bertemu dengan Hubert Neiss, Direktur IMF Asia yang sedang di Jakarta dan menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana kenaikan harga BBM itu. Bahkan menyatakan bahwa kalau tetap dinaikkan bisa terjadi masalah besar. Tetapi harga BBM tetap dinaikkan dan akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Suharto jatuh.
Menurut perhitungan DR Rizal Ramli kalau kita tidak mengundang campur tangan IMF maka ekonomi kita hanya akan turun dari 6 ke 2 atau 0 persen. Tetapi karena kita mengundang campur tangan IMF maka ekonomi kita menjadi turun sebesar minus 13 persen, harus menyuntikkan BLBI ratusan triliun , mengakibatkan harga aset menjadi terjun ke bawah dan membuat ‘recovery’ ekonomi kita menjadi lama.
Demikian juga yang terjadi dengan Indonesia, dalam keadaan yang sesulit itu tetap harus membayar utangnya kepada IMF dan para kreditor lainnya secara tepat waktu, tepat jumlah, tidak ada restrukturisasi utang dan tidak ada negosiasi utang. Creditors First !
Pasien IMF saat ini adalah Yunani , yang menjadi penyebab dari timbulnya krisis ekonomi di Uni Eropa sejak 2009 sampai sekarang. Walaupun untuk mengatasi krisis Yunani itu IMF bergabung dengan negara Uni Eropa dan Bank Central Eropa dan disebut dengan Troika, namun IMF tetap mewarnai kebijakan.
Prof. TT Ram Mohan dari India Institut of Managemebt Ahmedabat (IIMA) menulis yang dimuat di website The Wire dengan judul “How the IMF Bungled the Greek Debt Crisis”. Pada awal Troika/IMF menangani krisis Yunani hutangnya mencapai 120 perseb dari GDP-nya. Namun setelah kurang lebih 5 tahun lamanya ditangani IMF utangnya membengkak jadi 170 persen GDP.
IMF bersama Troika membuat “paket penyelamatan” Yunani dengan mengumpulkan dana sebesar €80 miliar dari negara Uni Eropa dan €30 miliar dari Yunani sendiri sebagai dana cadangan. Rupanya “penyelamatan” yang dikerjakan oleh IMF/Troika itu sama sekali bukan menyelamatkan Yunani, tetapi malah justru membailout (memberikan dana talangan) kepada bank swasta yang telah memberikan pinjaman kepada Yunani.
Tentu saja dana ini nantinya harus dikembalikan oleh Yunani, menjadi utang Yunani. Atau dengan kata lain uang dari para pembayar pajak Yunani digunakan untuk mem-bailout bank-bank swasta tersebut.
Akibatnya setelah sekitar lima tahun GDP Yunani mengecil sehingga menjadi hanya sekitar 30 persen, utangnya yang tadinya 120 persen GDP menjadi 170 perse GDP, angka pengangguran menjadi 24 persen, uang pensiunan dipotong, pelayanan publik dirusak oleh program austerity (penghematan) yang dipaksakan oleh IMF/Troika. Dari laporan IEO (Independent Evaluation Office) pihak independen yang mengawasi IMF telah terkonfirmasi bahwa kesengsaraan Yunani kelihatannya akan dialaminya seterusnya (unending misery).
Lagi-lagi cara IMF dalam “menyelamatkan” krisis suatu negara dengan cara menyelamatkan kreditornya dulu, memaksakan penghematan (austerity) dan bahkan mengabaikan kondisi ekonomi negara tersebut. Tidak ada restrukturisasi utang, tidak ada negosiasi utang. Creditors First.
Sri Mulyani yang pada tahun 2002 sampai dengan 2004 bekerja di IMF sebagai Direktur Eksekutif untuk Asia Tenggara, setelah satu tahun menjabat sebagai Menteri Keuangan, terlihat jelas arah kebijakanya yang juga senada dengan IMF. Fokusnya kepada pemotongan anggaran (austerity) , mengejar pajak sampai-sampai mau mengintip rekening 200 juta rupiah kemudian dinaikkan jadi satu miliar rupiah karena banyak diprotes orang, memajaki petani tebu dan yang terakhir mau menurunkan batas PTKP, Pendapatan Tidak Kena Pajak.
Namun di lain pihak Sri Mulyani selama satu tahun ini tidak pernah mengeluarkan kebijakan apapun yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Apapun yang bisa memberikan insentif kepada sektor tertentu untuk tumbuh. Apakah terkait dengan pariwisata, ekonomi kreatif, manufacturing, vocational trainng dan lain sebagainya.
Langkah Sri Mulyani yang konsisten kepada kebijakan austerity dan mengejar pajak ini jelas menyebabkan lesunya ekonomi, mengarah kepada PHK dan resesi ekonomi dan bukan tidak mungkin terjadi depresi ekonomi. Karena itu sangat berbahaya bagi ekonomi Indonesia bila Sri Mulyani dipertahankan sebagai Menteri Keuangan.
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik