KedaiPena.Com – Menteri Keuangan Sri Mulyani (SMI) diminta tidak hanya memberikan peringatan kepada para korporasi RI yang beresiko gagal bayar utang seperti dalam laporan Lembaga pemeringkat utang internasional Moody’s Investor Service.
Hal tersebut disampaikan oleh Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra saat menanggapi laporan yang dikeluarkan oleh Lembaga pemeringkat utang internasional Moody’s Investor Service baru-baru ini.
“Bukan hanya peringatan, harus dipanggil semua pihak terkait, karena utang swasta hampir 90 persen dolar AS. Coba bayangkan kalau dolar AS goyang Rp16 ribu, apa gak makin banyak yang tidak kebayar (utang),” ungkap Gede Sandra kepada kepada KedaiPena.Com, Senin, (14/10/2019).
Gede sapaannya menilai pemerintah khususnya, Bank Indonesia, Menteri Keuangan, serta OJK harus turun bersama lakukan rakor untuk mengecek korporasi mana saja yang terlibat utang.
“Lalu juga dicek utangnya dimana, berapa utangnya, apakah memang bisa restrukturisasi. Tapi apakah mungkin pemerintah bisa seperti itu, tidak ada sejarahnya,” papar Gede.
Gede pun mengingatkan penyebab dari munculnya peringatan gagal bayarnya korporasi disebabkan lantaran kurangnya pengawasan pemerintah kepada swasta.
“Pemerintah juga tidak memberikan supervisi yang bagus kepada korporasi-korporasi,” ungkap Gede.
Senada dengan Gede, Ekonom Indef Bhima Yudhistira meminta agar negara dapat melakukan pengawasan khusus kepada korporasi yang beresiko gagal bayar utang tersebut.
“Ini menjadi tidak biasa karena dalam laporan Moody’s Investor Service menyebut bank di India dan Indonesia yang paling beresiko, artinya beberapa perusahaan yang mengandalkan bank untuk utang. Kinerja pendapatan mereka itu tidak baik-baik saja. Harus ada pengawasan khusus,” ungkap Bhima.
Bhima menambahkan, pemerintah juga sedianya harus mampu melakukan pengawasan kepada para bank yang Non Performing Loan (NPL) mulai meningkat.
“Karena kalau default dampaknya bisa ke mana-mana ini,” ungkap Bhima.
Bhima pun tidak menampak terancamnya sejumlah perusahaan korporasi dalam membayar utang disebabkan oleh kurangnya implementasi program kebijakan pemerintah.
“Saya kira 16 paket kebijakan sudah menjadi acuan. Tapi masalahnya bukan di konsep kebijakan, tapi implementasinya kurang dipertajam. Misalnya soal janji harga gas murah untuk industri. Di kondisi sekarang harga biaya operasional naik, harusnya segera diturunkan sesuai janjinya. Lalu diskon 30 persen di paket kebijakan pertama itu jangan nanggung tapi kalau bisa diskon nya dibesarkan karena kan untuk industri padat karya seperti tekstil,” pungkas Bhima.
Laporan: Muhammad Hafidh