BUKAN Sri Mulyani kalau tak jago berkelit. Perempuan yang dua kali didapuk menjadi Menteri Keuangan (era Presiden SBY dan Jokowi) ini benar-benar ngeyel. Berkali-kali dia menyatakan ekonomi Indonesia aman-aman saja, jauh dari terjangan krisis. Sri juga bolak-balik mengklaim APBN dikelola dengan prudent alias hati-hati. Namun pada saat yang sama, dia terus menumpuk utang berbunga tinggi dalam jumlah superjumbo dengan segala konsekwensi dan risiko yang amat mengerikan.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan total utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai akhir triwulan II 2019 tercatat US$391,8 miliar. Dengan kurs BI hari ini, Senin (2/9) yang Rp14.190, utang tersebut setara dengan Rp5.556 triliun. Angka ini tumbuh 10,1% ( year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya yang 8,1%.
Yang membuat tambah miris, utang-utang itu dibuat dengan bunga yang dikerek tinggi-tinggi. Berikut contoh tujuh surat utang bertenor dua tahun yang dia terbitkan. Yaitu, SBR006 (7,95%), ST004 (7,95%), SBR005 (8,15%), ST003 (8,15%), ST002 (8,55%), SBR004 (8,55%), dan SBR003 (8,55%).
Padahal bila mengacu pada kurva yield untuk surat utang SBR003-006 tenor 2 tahun untuk periode Mei 2018, Sept 2018, Januari 2019 dan April 2019, Sri yang sangat disukai kreditor asing itu menawarkan bunga/kupon 1%-1,9% lebih tinggi. Begitu juga untuk surat utang ST002-004 yang seharusnya besar bunganya mengambang (floating). Bila mengikuti kurva yield Juli 2019 di 6,2% terjadi kelebihan membayar bunga sebesar 1,7% hingga 2,23%.
Bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang rating-nya lebih rendah ketimbang Indonesia, angka kelebihan bunga itu mencapai 3%. Dengan peringkat yang lebih bagus, semestinya bunga utang yang kita bayar lebih rendah daripada Vietnam dan Thailand.
“Karena perilakunya yang terus-menerus menyenangkan kreditor walau menyengsarakan rakyat, Sri lebih pas disebut sebagai Menkeu Terbalik, bukan menkeu terbaik,” ujar ekonom senior Rizal Ramli.
Rp317,7 triliun lebih mahal
RR, begitu mantan anggota tim Panel Ahli Perserikatan Bangsa Bangsa biasa disapa, memaparkan sebagai Menkeu SBY, 2006-2010, Sri menerbitkan bond senilai Rp454,9 triliun. Rinciannya, Fixed Coupon Rp281,8 triliun, Variable Coupon Rp25,6 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp25,7 triliun, dan Fixed Coupon (non tradable) Rp121,7 triliun. Dengan yield kemahalan, beban yang harus ditanggung rakyat akibat ulah perempuan ini mencapai Rp199,7 triliun.
Sedangkan di era Jokowi (2016-2019), dia menerbitkan bond senilai Rp790,7 triliun. Masing-masing Fixed Coupon sebesar Rp461 triliun, Zero Coupon Rp49,1 triliun, Zero Coupon (Islamic) Rp22,1 triliun, Fixed Coupon (Islamic) Rp240,9 triliun, Variabel Coupon (non tradeble) Rp10,7 triliun dan Fixed Coupon (non tradeble) sebesar Rp7 triliun. Yield kemahalan ini menambah beban rakyat dari yang semestinya sebesar Rp118 triliun. Total kelebihan bayar bunga utang itu mencapai Rp317,7 triliun.
Di tangan Sri yang pejuang neolib sejati, APBN dia susun untuk menyubsidi investor pasar uang. Sementara rakyat yang telah bekerja ekstra keras dipajaki habis-habisan. Sudah begitu pajak yang diperas dari keringat rakyat, diutamakan alokasinya untuk membayar kupon surat utang yang bunganya terlalu tinggi.
Data yang ada menunjukkan, hingga Juni 2019 pembayaran bunga utang mencapai Rp127,1 triliun. Angka ini naik 13% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Sebaliknya, subsidi untuk keperluan dasar rakyat cuma kebagian Rp50,6 triliun atau turun 17%. Dengan angka-angka seperti ini, Sri telah ibarat demang yang memeras rakyat demi menyenangkan penjajah Belanda yang jadi majikan asingnya.
Sikap inlander Sri yang creditors first membuat sebagian besar anggaran APBN tersedot untuk membayar utang. APBN 2019 mengalokasikan pembayaran pokok utang sebesar Rp400 triliun. Ditambah dengan pembayaran bunga yang Rp249 triliun, maka total beban utang mencapai Rp649 trilliun. Angka ini sekitar 150% anggaran infrastruktur maupun anggaran pendidikan yang sekitar Rp400-an triliun.
Makro-mikro merah
Sri juga sering ngeles dengan mengatakan ekonomi kita aman-aman saja. Pada saat yang sama fakta dan data menunjukkan terjadinya deindustrialisasi yang dampak langsungnya adalah pemutusan hubungan kerja.
Sejumlah indikator makro dan mikro jelas-jelas menunjukkan ekonomi kita sama sekali tidak aman-aman saja, sebagaimana yang sering diklaim Sri. Defisit Neraca Pembayaran (Current Account Deficit/CAD) hingga triwulan II-2019 menunjukkan angka US$8,4 miliar. Jumlah ini naik dibandingkan triwulan pertama yang US$7 miliar. Artinya, hanya dalam tempo tiga bulan, CAD membengkak US$1,4 miliar.
Indikator merah lainnya, juga terjadi pada neraca perdagangan yang defisit. Pada triwulan pertama 2019, defisitnya tercatat US$1,450 miliar. Pada kwartal II, defisit naik menjadi US$1,870 miliar.
Kinerja ekspor nonmigas juga melorot seiring perekonomian dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang turun. Ekspor nonmigas tercatat US$37,2 miliar, turun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar US$38,2 miliar. Defisit neraca perdagangan migas juga meningkat menjadi US$3,2 miliar. Padahal, pada triwulan sebelumnya defisit itu masih U$ 2,2 miliar.
Salah satu parameter sukses-tidaknya Menkeu adalah rasio pajak alias tax ratio. Ternyata, tax ratio juga terus terjun. Pada 2010, rasio pajak tercatat 9,82%. Sampai 2018, angkanya melorot menjadi 8,85%. Kalau dihitung termasuk pendapatan bea cukai dan royalti Migas-tambang, angkanya bergerak dari 14,66% pada 2011 menjadi 11,45% di 2018.
Perlambatan penerimaan perpajakan ini membuat Sri uring-uringan. Pasalnya, kontribusi pajak terhadap penerimaan negara mencapai hampir 80%. Sampai akhir Juli 2019, pajak yang masuk Rp810,7 triliun atau 45,4% dari target APBN.
Terus terjunnya penerimaan pajak inilah yang membuat Sri kalap dan kalang-kabut. Maka, dia pun memajaki pempek palembang, pecel lele, gado-gado, dan UMKM. Padahal, sebelumnya UMKM sudah kena pajak final 0,5% dari omset, tidak peduli usaha rakyat kecil ini menangguk laba atau diterjang rugi.
Tetap jumawa
Kendati sudah babak-belur dihajar angka-angka rapor yang merah, toh perempuan itu tetap saja berkoar Indonesia masih jauh dari krisis. Tidak tanggung-tanggung, sikap jumawa ini dia sampaikan saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (29/8). Saat itu Sri menegaskan kendati Indonesia harus waspada, itu tidak berarti bahwa krisis sudah di ambang pintu.
Padahal, tiga hari sebelumnya saat menggelar konferensi pers APBN Kita, Senin (26/8/2019), dia mengakui bahwa ekonomi dunia telah melemah dan risikonya bakal makin meningkat. Kondisi ini terkonfirmasi dalam statement atau indikator sesudah eskalasi pada Juli Agustus. Pengakuan Menteri Sri ini adalah kali kedua dalam bulan ini.
Menurut dia, perlambatan ekonomi dunia ditandai dengan bertaburnya data ekonomi di berbagai negara terus membuat cemberut. Jerman, Singapura, negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Meksiko, Brasil dalam situasi sulit. Eropa dan China pun mengalami hal sama. Bahkan kawasan Asia, termasuk India, yang jadi lokomotif penghela ekonomi di pasar berkembang juga melemah.
Tapi dasar kopeg, babak-belurnya perekonomian dunia justru membuatnya bertepuk dada. Katanya, di tengah perekonomian dunia yang lesu, Indonesia masih bisa tumbuh 5%. Kalau saja dia mau sedikit humble, tentu pernyataan seperti itu tak bakalan keluar dari mulutnya. Terlebih lagi dengan potensi yang ada dan menanggalkan kebijakan ekonomi non neolib, seharusnya Indonesia bisa terbang di 6,5-7%. Setidaknya, begitulah jualan Jokowi waktu maju di ajang Pilpres 2014.
Sebelumnya, Rizal Ramli berkali-kali memperingatkan ekonomi kita jauh dari baik-baik saja. Berdasarkan rentetan indikator yang memburuk, dia menyebut Indonesia tengah mengalami the creeping crisis, krisis yang merangkak. Seabrek indikator makro dan mikro yang disorongkannya memang dengan fasih bercerita ekonomi Indonesia terseok-seok, kalau tidak mau disebut amburadul.
Tutupnya sejumlah gerai penyandang nama besar, adalah bukti melemahnya kinerja sektor ritel yang diperkirakan masih akan berlanjut. Daya beli dan consumer goods juga masih akan turun. Pukulan telak dialami sektor properti, kecuali untuk beberapa segmen.
Indeks Nikkei menyebut sekitar seperempat perusahaan yang melantai di BEI telah berubah jadi zombie company. Keuntungan yang mereka terima tidak cukup untuk membayar utang. Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus. Gejala gagal bayar utang alias default juga melanda sejumlah perusahaan besar.
Seperti tidak cukup, McKinsey & Company menyebut 25% utang valas jangka panjang swasta kita memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Artinya, perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Jelas rawan.
Jadi, Sri, ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Data dan fakta seperti apalagi yang bisa membuka mata-hatimu?
Oleh Edy Mulyadi, wartawan senior