KedaiPena.Com – Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana mengajukan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) perubahan 2020 seiring dengan dampak wabah virus Corona atau Covid-19.
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin mengatakan ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengajukan APBN perubahan 2020 seiring dengan dampak wabah Corona atau Covid-19.
Puteri menjelaskan pemerintah dapat menafsirkan bahwa APBN TA 2020 perlu dilakukan penyesuaian akibat perubahan keadaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN TA 2020.
“Dengan terpenuhinya kondisi tersebut, Pemerintah dapat mengajukan RUU mengenai APBN-P TA 2020 untuk mendapatkan persetujuan DPR,” kata Puteri kepada KedaiPena.Com, Kamis, (26/3/2020).
Puteri menjelaskan dalam keadaan darurat sebagaimana diatur syaratnya dalam Pasal 41 UU No. 20/2019 pemerintah sedianya dapat melakukan langkah-langkah antisipasi dengan persetujuan DPR.
“Persetujuan tersebut berupa keputusan yang tertuang di dalam kesimpulan Raker Banggar DPR dengan Pemerintah, yang dicapai dalam 1×24 jam sejak usulan disampaikan ke DPR,” ungkap Puteri.
Namun, kata Puteri, jika karena satu dengan lain hal DPR belum memberikan persetujuan dalam jangka waktu tersebut maka pemerintah dapat melaksanakan langkah-langkah yang diusulkan.
“Pelaksanaannya kemudian disampaikan dalam APBN-P TA 2020 atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020,” tegas Puteri.
Politikus Golkar ini melanjutkan pemerintah juga dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang merevisi beberapa dasar hukum kebijakan yang diperlukan terkait dengan APBN 2020 ini.
“Syarat formil ditetapkannya Perppu oleh Presiden diatur dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 yang berisi tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019,” tegas Legislator asal Jawa Barat ini.
Puteri menegaskan dalam pasal 22 UUD NRI 1945 mengatur bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu yang harus mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan yang berikut.
“Jika persetujuan tidak diperoleh, maka Perppu harus dicabut,” tegas Puteri.
Terkait interpretasi kegentingan yang memaksa, lanjut Puteri, Mahkamah Konstitusi (MK ) dalam putusannya di tahun 2009 juga menjelaskan bahwa Perppu dapat digunakan dengan tiga syarat ini.
“Adanya keadanaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Lalu UU yang dibutuhkan itu belum dibentuk atau kalaupun ada, tidak memadai dan kekosongan hukum ini tidak dapat diatasi dengan membuat UU prosedur biasa karena memakan waktu yang lama, sedangkan keadaan mendesak membutuhkan kepastian hukum,” ungkap Puteri.
“Jika syarat formil tersebut terpenuhi, maka Perppu dapat ditetapkan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011,” sambung Puteri.
Tidak hanya itu, Puteri menambahkan, dalam pasal 52 menjelaskan bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam masa sidang pertama setelah Perppu ditetapkan yang dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perppu menjadi UU.
“DPR kemudian hanya memberikan persetujuan/penolakan terhadap Perppu dengan ditetapkan sebagai UU atau, jika ditolak, maka Perppu di cabut dan dinyatakan tidak berlaku,” ungkap Puteri.
Meski demikan sebagai catatan, tegas Puteri, pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 mengkategorikan penetapan/pencabutan Perppu sebagai daftar kumulatif terbuka dalam Prolegnas.
“Artinya, dalam keadaan tertentu, RUU tersebut dapat diajukan walaupun diluar Prolegnas,” tandas Puteri.
Laporan: Muhammad Hafidh