PADA pemberitaan di suatu harian (22/8), anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono menyatakan keprihatinan atas maraknya penggunaan opini WTP atau “Wajar Tanpa Pengecualian†dari BPK sebagai kampanye politik politisi.
Agus berpandangan, bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara WTP dengan korupsi. Menurutnya, korupsi itu merupakan tindak pidana. Sementara opini BPK hanya proses administrasi keuangan. Artinya meskipun sudah WTP, masih terdapat celah lembaga negara tersebut untuk melakukan tindak pidana korupsi. WTP bukan istilah yang perlu dipahami dan dipergunakan publik, melainkan istilah yang hanya ditujukan untuk profesi akuntan. BPK menggunakan kata “wajarâ€, bukan “benar.
Artinya dalam suatu laporan keuangan yang dinyatakan “wajar†pun, masih berpeluang terjadi korupsi di dalamnya. Maka sayang sekali sambutan Nota Keuangan tanggal 16 Agustus 2017 yang dibacakan Presiden Jokowi masih membanggakan opini WTP nya pengelolaan keuangan negara, yang katanya baru pertama kali terjadi dalam sejarah.
Ingatkah Presiden, bahwa pertama kali dalam sejarah juga telah terjadi kasus tangkap tangan KPK untuk perkara pemberian WTP bagi kementerian. Kebetulan yang terungkap adalah Kementerian Desa yang melibatkan sekjennya. Artinya bukan tidak mungkin modus serupa terjadi juga di kementerian lainnya.
Jadi tidak tertutup kemungkinan, meskipun telah diberikan opini WTP oleh BPK, mungkin saja masih terdapat borok dalam pengelolaan keuangan negara. Maksud saya dengan “borokâ€, adalah kesalahan di masa lalu yang dampaknya dituai saat ini.
“Borok†Utang Bunga Tinggi Sri Mulyani contohnya adalah dalam pengelolaan surat utang negara di masa lalu, yang mengakibatkan kerugian negara bila dibandingkandengan negara lain. Kasus ini terjadi pada tahun 2008 dan 2009. Pada bulan Januari 2008 dan Maret 2009 Indonesia menerbitkan dua macam surat utang berdenominasi dollar AS dengan sukubunga masing-masing 6,875% dan 11.25%.
Pada saat yang hampir bersamaan, Filipina juga menerbitkan surat utang berdenominasi dollar AS dengan suku bunga masing-masing 5,875% dan 6,25%. Pada bulan Januari 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Filipina (tahun 2007) masing-masing adalah 6,345% dan 6,617%(www.data.worldbank.org).
Rating dari Standard and Poor’s untuk surat utang Indonesia dan Filipina di periode tahun2007-2008 adalah sama di level BB-. Rating dari Moody’s untuk surat utang Indonesia dan Filipina pada periode 2007-2008 adalah Ba3, malah lebih tinggi dari Filipina yang pada periode yang sama berada di level B1. Dengan pertumbuhan ekonomi dan rating dari dua lembaga yang relatif sama, seharusnya Indonesia pada Januari 2008 dapat sajamemasang tingkat bunga (kupon) yang sama dengan Filipina. Anehnya, ternyata Indonesia malah memasang tingkat bunga 1%dan 5% lebih tinggi di atas Filipina.
Bila dilakukan penghitungan atas kerugian negara akibatkebijakan pengelolaan surat utang yang over-rated tersebut, dengan menghitung dari tenor 10 tahun dikalikan selisih bunga dengan Filipina dikalikan nilai face value surat utang (masing-masing Rp 50,6 triliun dan Rp 26,67 triliun), maka kerugian yang diderita Indonesia atas penerbitan dua jenis surat utangtersebut mencapai Rp 36,78 triliun. Atau dengan kata lain, karena kesalahan memasang suku bunga/tingkat kupon, Indonesia terpaksa membayar bunga surat utang Rp 36,78 triliunlebih banyak dari yang dibayarkan Filipina.
Yang perlu digaris bawahi: kasus ini terjadi pada era Menteri Keuangan Sri Mulyani di masa pemerintahan SBY. Dan hampir pasti, seluruh penghargaan yang diberikan oleh berbagai media investasi pasar uang kepada Sri Mul adalah karena ini. Semakin menguntungkan investor pasar uang, namun merugikan negara, semakin Sri Mul diberikan penghargaan.
Maka, bila Sri Mul pernah mengeluh tentang besarnya “borok†bunga utang yang harus dibayar tahun 2017, saat baru diangkat kembali menjadi Menkeu oleh Presiden Jokowi, ini hanya upaya Sri Mul untuk menghilangkan jejak keterlibatannya dalampenciptaan “borok†ini.
“Borok†yang terus membesar. Pada tahun 2017, nilai total pembayaran bunga utang dalam APBN-P 2017 sebesar Rp 219,2 triliun. Tahun 2018, dalam RAPBN 2018 direncanakan total pembayaran bunga utang adalah sebesar Rp 247,58 triliun.Artinya terdapat kenaikan pembayaran bunga utang sebesar 13% dari tahun 2017 ke 2018.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)