ORANG Belanda memerintah Nusantara dengan 64 orang Gubernur Jenderal dalam dua periode, yaitu masa VOC (1609-1816) dan masa Hindia Belanda (1816-1946).
Dalam masa VOC terdapat Daendels (1808-1811) utusan Napoleon waktu Belanda dikuasai Perancis, –dan Raffles (1811-1816), administratur terkemuka yang orang Inggris, yang berperan sebagai utusan perusahaan Inggris untuk Hindia Timur.
Jadi, Nusantara total pernah diperintah oleh 66 orang Gubernur Jenderal. Sehingga karena saking lama dijajah, seorang budayawan pernah berolok-olok bahwa katanya itulah yang menyebabkan orang Indonesia umumnya suka berjalan membungkuk-bungkuk terutama kalau berdiri dihadapan pembesar.
Memang tidak semua wilayah Nusantara dijajah Belanda secara serempak. Bali baru ditaklukkan pada 1910. Ternate 1923, Ruteng 1928, Toraja 1910, dan Sulawesi Selatan baru pada tahun 1905.
Tentang ini ahli hukum berkebangsaan Belanda, Profesor G.J Resink, menuliskannya dalam ‘’Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910’’.
VOC bangkrut karena korupsi. Sehingga diplesetkan Vergaan Onder Corruptie alias runtuh gara-gara korupsi.
Menurut Onghokham, hampir semua hak, wilayah, dan kekuasaan VOC di Nusantara didapat berdasarkan kontrak, bukan hasil dari kemenangan militer.
Kekuatan ekonomilah yang digunakan VOC dan Hindia Belanda untuk mendominasi penguasa pribumi. Termasuk dengan cara menyuap dan menghadiahi para penguasa pribumi dengan barang-barang mewah.
Elit Indonesia hari ini pun umumnya seperti itu, Menkeu Sri Mulyani dan Menko Ekonomi Darmin, masih menjadikan Indonesia ikut dalam pakem World Bank dan IMF.
Kalau dianalogikan dengan VOC Indonesia bisa bangkrut bukan hanya karena korupsinya yang makin spektakuler dan semakin tidak tau malu, tetapi juga bisa runtuh akibat salah urus ekonomi di bawah Sri Mulyani & Darmin yang berorientasi kepada kepentingan asing dan kepentingan pasar ketimbang pro rakyat sendiri.
Jalan ekonomi Soeharto juga berorientasi asing. Repelita I konsepnya disusun oleh think thank asing, ialah Tim Harvard, Amerika.
Di Belakang Ali Wardana dan Widjojo Nitisastro yang dulu pernah dipuja-puja setinggi menara Sutet itu ternyata berdiri Tim Harvard.
Sejak sehabis Pemilu ’55 Mafia Barkeley sudah disiapkan termasuk dalam rangka persiapan menjatuhkan Sukarno. Sejumlah mahasiswa direkrut untuk disekolahkan di sana.
Bisa dibilang mereka adalah Mafia Barkeley gelombang pertama, sedangkan generasi berikutnya yang merupakan penerus faham ekonomi neoliberal representasinya adalah Sri Mulyani, yang belakangan ini nampak sibuk bikin pencitraan sebagai ‘’langkah terobosan’’, menyusul berbagai langkah ekonominya yang dalam formula bahasa rakyat biasa dinilai ‘’nggak ada apa-apanya’’, yang oleh kalangan pebisnis dan pengusaha umumnya dianggap ‘’bikin susah perekonomian’’.
Kepentingan asing yang sangat agresif makin mempercepat kejatuhan Sukarno dengan disain menaikkan harga bensin melalui tangan pimpinan Pertamina waktu itu yang merupakan konco Soeharto. Uang dicetak secara besar-besaran yang kemudian memicu inflasi seribu persen. Ini semua skenario untuk menghabisi Sukarno, dengan merusak tatanan ekonomi yang esensinya demi membela kepentingan asing yang ingin menguasai.
Waktu Sukarno jatuh rakyat kesulitan pangan, antre beras dimana-mana, waktu itulah datang Amerika dalam jubah dan topeng yang lain sebagai ‘’dewa penolong’’, memberikan bantuan pangan.
Bahaya laten ekonomi neoliberal saat ini pun tidak kalah berbahayanya dengan pada masa kejatuhan Bung Karno, yang bukan hanya berdampak merugikan bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan, tetapi juga bagi Presiden Jokowi yang sedang berusaha keras mewujudkan Indonesia ke keadaan yang lebih baik.
Menutup tulisan ini akhirnya saya terkenang kepada sebuah jalan di Amsterdam, Belanda, Jalan Kloveniers Burgwal 48. Di mana di pinggir jalan ini, di antara coffee shops yang menyuguhkan daun cannabis, pesepeda yang berseliweran, kanal tempat perahu bersandar, dan para turis berhimpitan minum bir sambil mendengarkan lagu-lagu disko, terdapat sebuah gedung yang membuat langkah saya terhenti.
Gedung kokoh tiga lantai dengan bata merah yang sekarang Kampus Universiteit Van Amsterdam ini papan nama di tembok bagian depannya bertuliskan: Oost Indisch Huis, atau Gedung Hindia Timur.
Di situlah dulu Kantor Pusat VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bermarkas. Markas besar kompeni. Tempat para direksinya yang disebut dengan istilah Heeren Zeventien (Tuan-Tuan Tujuhbelas) berkantor dan membuat berbagai kebijakan ekspansi dagang serta pengerukan terhadap kekayaan rempah-rempah Nusantara.
Bersambung…
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior