Artikel ini ditulis oleh Ahmad Daryoko, Koordinator INVEST.
Akhirnya Menkeu Sri Mulyani mengakui bahwa Kelistrikan yang sampai saat ini menggunakan PLN sebagai “casing” (karena sesungguhnya bukan PLN lagi yang riil di lapangan), bahwa tahun 2022 kemarin subsidi listrik masih memerlukan uluran tangan dari APBN/Pemerintah sebesar Rp 133,33 T (Focusenergi.com 11 Januari 2023). Bukan untung sebesar Rp13,7 T (seperti Laporan Keuangan PLN 2021) atau untung Rp5,95 T (seperti Laporan Keuangan PLN 2020).
Namun perlu diketahui bahwa pada tahun 2020 maupun 2021 saat itu sebenarnya PLN masih disubsidi sebesar Rp200,8 T (Repelita 8 Nopember 2020). Artinya Pemerintah/PLN membuat “kebohongan publik” terkait Laporan Keuangan PLN 2020 dan Laporan Keuangan PLN 2021.
Baru untuk tahun 2022 Menkeu bilang secara jujur dan gamblang bahwa kelistrikan masih harus di subsidi Rp133,33 T, itupun karena tarip listriknya sudah dinaikkan antara 10 sampai 15 persen. Kalau tarip listrik masih sama dengan tahun 2020 maka niscaya besaran subsidi masih sama antara tahun 2022 dan tahun 2020 yaitu Rp200,8 T.
Kesimpulan:
Dengan diumumkannya bahwa subsidi listrik tahun 2022 sebesar Rp133,33 T, artinya tidak mungkin tahun 2021 justru untung Rp13,97 T dan 2020 untung Rp5,95 T.
Yang benar tahun 2020 di subsidi Rp200,8 T (Repelita Online 8 Nopember 2020) dan bukan untung Rp5,95 T seperti Laporan Keuangan PLN 2020. Begitu juga tahun 2021 diragukan kebenarannya kalau untung Rp13,97 T.
Super kesimpulan:
Dengan melihat:
1) Kecenderungan pajak pajak dinaikkan.
2) Pemaksaan Program HSH PLN dengan target IPO PLN (khususnya Jawa-Bali).
3) Penyelundupan pasal “Power Wheeling System” dalam RUU EBT (Informasi Fraksi PKS dalam Webinar IRRES awal tahun 2023).
Maka dapat disimpulkan bahwa kelistrikan Jawa-Bali akan segera diterapkan mekanisme kompetisi penuh atau “Multy Buyer and Multy Seller System” (MBMS) agar Pemerintah tidak dibebani lagi subsidi listrik yang masih ratusan triliun seperti diatas.
Dan biaya subsidi operasional kelistrikan yang masih ratusan triliun diatas dipastikan akan dibebankan ke konsumen secara langsung. Sehingga dipastikan setelahnya akan terjadi lonjakan tarip listrik seperti di Philipina, Srilangka, Angola, Kamerun dll.
Penerapan MBMS (secara formal) ini diperkirakan akan dilakukan pada akhir 2024 (saat pergantian Rezim).
Ini semua terjadi karena:
1. Privatisasi/Penjualan Ritail PLN yang dilakukan Dahlan Iskan saat yang bersangkutan menjabat Dirut PLN.
2. Pembuatan Pembangkit IPP swasta dengan pasal TOP yang dimulai 1990 an dan terakhir justeru dipelopori oleh JK, Luhut BP, Dahlan Iskan dan Erick Tohir.
Jakarta, 12 Januari 2023
[***]