KedaiPena.Com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirim Surat Presiden (Surpres) Revisi Undang-undang KPK ke DPR. Presiden Jokowi sendiri memberikan tiga pendapat dan pandangan untuk dipertimbangkan DPR dalam RUU ini.
Dengan begini pemerintah dan DPR sepakat untuk melakukan revisi UU KPK nomor 30 tahun 2020.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bersama Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo langsung diutus untuk menyampaikan usulan revisi pemerintah saat melakukan rapat kerja di Baleg DPR RI, Kamis (12/9/2019).
Ada tiga poin yang menjadi pendapat dan Presiden Jokowi, terkait dengan RUU KPK. Pertama ialah, terkait pengangkatan Dewan Pengawas KPK.
Pemerintah berpandangan bahwa pengangkatan ketua dan anggota Dewan Pengawas merupakan kewenangan Presiden. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisir waktu dalam proses penentuan dalam pengangkatannya Dewan Pengawas.
Namum, untuk menghindari kerancuan normatif dalam pengaturan serta terciptanya proses check and balance, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengangkatan dewan pengawas, mekanisme pengangkatan tetap melalui panitia seleksi serta membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan terhadap calon anggota dewan pengawas mengenai rekam jejaknya.
Sedangkan untuk pendapat kedua, terkait keberadaan penyelidik dan penyidik independen KPK, dalam menjaga kegiatan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berkesinambungan perlu membuka ruang dan mengakomodasi penyelidik dan penyidik KPK berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pemerintah pun mengusulkan pemberian rentang waktu selama dua tahun untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik itu dalam wadah ASN dengan tetap memperhatikan standar kompetensi masing-masing.
Pandangan dan pendapat ketiga Jokowi, ialah terkait penyebutan KPK sebagai lembaga negara. Jokowi mengacu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
KPK dalam aturan tersebut disebutkan sebagai lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen. Lembaga state auxiliary agency ini disebut sebagai lembaga eksekutif independen.
Disebut eksekutif karena melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif yakni penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
“Prinsipnya kami menyambut baik dan siap membahas usul inisiatif DPR atas UU KPK dalam rapat-rapat berikutnya,” ucap Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly.
Pengamat Hukum Minta Kepastian SP3 dan Keberadaan Dewan Pengawas
Ada yang menarik dari pendapat dan pandangan Presiden Jokowi untuk dipertimbangkan DPR dalam RUU ini yakni tidak adanya pembahasan terkait pemberian kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada KPK.
Pengamat Hukum Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad meminta agar keberadaan kewenangan soal SP3 ini tidak dijadikan sebagai alat konspirasi oleh segelintir pihak.
“Terpenting dalam SP3 tidak ada konspirasi. Artinya SP3 dikeluarkan karena faktor hukum, bukan pendekatan atau persekongkolan karena memiliki jabatan atau modal ekonomi yang besar,” kata Suparji saat dihubungi, Jumat, (13/9/2019).
Suparji mengakui kewenangan SP3 berpotensi adanya abuse of power. Namun, kata Suparji, tetap bisa dilakukan mekanisme kontrol horisontal melalui pra peradilan.
“Tapi dengan (kewenangan) SP3 maka penyidik sedianya bekerja lebih progresif karena berlama-lama bisa terbit SP3,” papar dia.
Sedangkan terkait dengan keberadaan Dewan Pengawas KPK, Suparji meminta,
agar tidak menimbulkan dua matahari di lembaga anti-rasuah tersebut.
“Atau tidak mendominasi di KPK. Kewenangannya dibatasi hal-hal yang bersifat etis bukan teknis hukum,” beber Suparji.
Suparji menyarankan agar keberadaan Dewan Pengawas KPK semacam dewan kehormatan yang memastikan bahwa kinerja kpk sesuai dengan aturan hukum dan etika.
Laporan: Muhammad Lutfi