KedaiPena.Com– Bangsa Indonesia diharapkan untuk tidak memberikan kesempatan kepada kediktatoran kembali berkuasa. Hal tersebut disampaikan Pakar dan pengamat komunikasi politik, Antonius Benny Susetyo yang merespons kemenangan dari Marcos Jr keluarga eks Presiden keluarga diktator Ferdinand Marcos Sr dalam pemilu Filipina.
Benny menyatakan, bahwa kemenangan Marcos Jr., atau lebih dikenal dengan nama Bongbong Marcos, dengan lebih dari 50% suara, menyatakan betapa mudahnya masyarakat Filipina melupakan kediktatoran, kekorupan, dan kekerasan yang diciptakan oleh Marcos Sr.
“Ini fenomena yang harus diperhatikan. Ini menunjukkan gagalnya konsolidasi demokrasi di Filipina, dimana kemiskinan, kekerasan, dan ketidakbebasan hidup terjadi begitu rupa, sehingga masyarakat mengalami situasi yang tidak menyenangkan,” jelasnya, Jumat, (13/4/2022.)
Benny melanjutkan bahwa Marcos Jr. mampu membuat orang melupakan kekejaman masa pemerintahan ayahnya, sehingga masyarakat Filipina membayangkan kemegahan di masa kepresidenan Marcos Sr.
“Dia membuat orang lupa; kesan glamor, kestabilan, memberikan harapan kepada masyarakat, dibandingkan Duterte,” lanjut Benny.
Benny juga menunjuk pada kegagalan masa pemerintahan setelah Marcos Sr. yang tidak memberikan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Filipina setelah Marcos Sr. turun dari posisi presiden.
“Jatuhnya rezim Marcos Sr. menandai mulainya era demokrasi Filipina. Namun, naiknya Corazon Aquino yang adalah istri dari mendiang Beniqno Aquino Jr., dan presiden-presiden selanjutnya, tidak memberikan solusi kepada masyarakat Filipina. Demokrasi tidak terbangun karena tidak memberikan kesejahteraan, kebebasan; korupsi tetap tinggi, dan hidup sejahtera tidak terjadi di Filipina.”
Dia menjelaskan bagaimana kultur politik di Filipina, yang juga faktor terpilihnya Bongbong Marcos sebagai presiden Filipina.
“Politik didominasi tuan tanah; senator-senator memiliki tanah, dan mereka membeli suara dari tanah dan keringat rakyat kecil. Oligarki yang berkuasa. Kesenjangan luar biasa terjadi antara kelas elit dan kelas rakyat. Rakyat tidak memiliki kekuatan. Demokrasi pun dibajak dengan kekuatan kapital,” katanya.
Benny juga menunjukkan betapa media sosial menjadi alat yanag sangat efektif dalam berkampanye, seperti yang dilakukan oleh Bongbong.
“Dia menggunakan media sosial yang banyak digunakan, memberikan janji utopis kepada masyarakat. Mereka yang bosan menghadapi ketidakpastian, akhirnya tertarik dengan janji kestabilan dan kemegahan, dan memilihnya menjadi presiden,” jelas dia.
Benny pun mengingatkan kepada bangsa Indonesia tentang apa yang bisa dipelajari dari fenomena terpilihnya Bongbong Marcos sebagai presiden Filipina.
“Satu, konsolidasi demokrasi tidak bisa berhenti, kita membutuhkan media masa yang kritis dan mengingatkan akan bahaya masa lalu dan menjadikannya sebagai pembelajaran. Media harus seimbang dalam pemberitaan dan sejarah masa lalu harus diungkapkan,” katanya.
“Kedua, jangan sampai konsolidasi politik gagal. Politik tanpa gagasan dan tidak bisa memperbaharui dirinya, akan membuat masyarakat ‘merindukan’ masa lalu, seperti yang terjadi di Filipina.”
“Dan ketiga, masyarakat sipil harus menjaga agar demokrasi tetap dan selalu berlangsung dalam waktu lima tahunan,” ujarnya.
Benny memberikan pernyataan bahwa demokrasi tidak langsung memberikan apa yang diinginkan masyarakat, tetapi demokrasi dapat menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Demokrasi memang tidak langsung memberikan kesejahteraan, tetapi (demokrasi) menjamin kebebasan penyampaian pendapat, kontrol dan pengawasan terhadap pemerintah. Demokrasi butuh proses. Belajarlah berdemokrasi dengan mau menjalani prosesnya, dan tidak mengulangi kediktatoran. Jangan sampai muncul tirani baru. Jangan bilang ‘enak jamanku, toh?’ Bukan. Jaman itu penuh ketidakbebasan, penculikan, penindasan, dan pelanggaran HAM. Memori kita jangan pendek. Sebarkan dan pelajari sejarah dan masa lalu, kita harus mengawal demokrasi bersama-sama,” tutupnya.
Laporan: Muhammad Hafidh