KedaiPena.com – Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO), Prof. Didin S Damanhuri menyatakan, jelang 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, ia melihat ada empat isu yang paling mencuat, tanpa bermaksud untuk menepiskan isu-isu lainnya.
“Kalau saya baca Astacita dan pidato Prabowo setelah pelantikan yang juga diulang dalam beberapa acara internasional, yang paling utama ada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Secara ekonomi makro, program ini masih memiliki beberapa masalah yang perlu dibenahi. Walaupun saya tetap mengapresiasi, bagaimana Prabowo konsisten untuk memulai menjalankan programnya ini,” kata Prof Didin saat dihubungi, Sabtu (19/1/2025).
Masalah yang dimaksud olehnya, adalah terkait kandungan gizi, variasi menu, tidak melibatkan pelaku usaha makanan kecil, hingga masalah anggaran pada program MBG tersebut.
“Hal kedua yang saya soroti adalah beberapa kebijakan yang berbuntut dilema. Seperti pembatalan penerapan kenaikan PPN, dari 11 persen menjadi 12 persen. Memang kebijakan yang dilakukannya ini memang bagus, karena mendengarkan suara publik. Tapi karena diputuskan menjelang 1 Januari 2025, akhirnya menimbulkan suatu ketidakpastian di dunia usaha dan perubahan proyeksi penerimaan negara,” ujarnya.
Seperti diketahui, dengan naiknya PPN menjadi 12 persen, pemerintah memproyeksikan penerimaan negara senilai Rp75 triliun tapi karena dibatalkan, maka penerimaan negara diperkirakan hanya sekitar Rp4 triliun.
Dan dampak pada dunia usaha, menimbulkan sentimen negatif terhadap pasar uang dan pasar modal, yang kemudian ditambah dengan kondisi geopolitik, sehingga menyebabkan melemahnya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika.
“Hal ketiga yang saya soroti adalah terkait korupsi. Dimana sebelumnya, Prabowo secara tegas akan memberantas korupsi secara signifikan, yang katanya akan dikejar sampai Antartika. Tapi saat berpidato di Kairo, Prabowo menyebutkan akan memaafkan koruptor jika mau mengembalikan hasil korupsi, bahkan boleh secara diam-diam. Kontradiktif pernyataan ini menimbulkan reaksi negatif dari publik,” ujarnya lagi.
Ditambah dengan penetapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus gratifikasi Harun Masiku, menyebabkan sentimen negatif dari publik. Publik mempertanyakan apakah tindakan KPK yang baru dilantik ini murni sebagai aksi pemberantasan korupsi yang serius atau hanya sekedar upaya politik.
“Publik kan mempertanyakan, untuk beberapa kasus yang nilainya lebih besar, yang menyangkut keluarga Jokowi kenapa tidak diusut. Publik ragu dengan aksi KPK ini. Prabowo harus mengambil langkah berani untuk menjadikan KPK ini menjadi lembaga yang independen dalam memberantas korupsi. Karena ini akan berkaitan bukan hanya pada kepercayaan publik untuk penegakan hukum tapi juga terkait dengan pendapatan negara,” kata Prof Didin lebih lanjut.
Masalah keempat, lanjutnya, masih berkaitan dengan pemberantasan korupsi yaitu bagaimana pemerintah mampu untuk menutup kebocoran anggaran negara, yang dinyatakan oleh Presiden Prabowo menyentuh hingga 30 persen.
“Kalau menurut perhitungan yang saya dan teman-teman lakukan, kebocoran pada era reformasi mencapai 40 persen atau senilai Rp1.200 triliun. Ini bukan angka yang main-main. Kalau ini bisa diselamatkan atau paling tidak kebocoran negara bisa ditekan hingga 10 persen, maka akan cukup dana untuk membenahi negara ini. Bisa untuk membiayai kekurangan anggaran MBG, yang katanya Rp71 triliun itu masih kurang,” ungkapnya.
Ia menyatakan Presiden Prabowo harus mampu mengorkestrasi semua komponen yang ada di pemerintahannya ini. Ia pun menyebutkan Presiden Prabowo harus menghadapi tantangan yang sangat besar saat memulai masa pemerintahannya.
“Jika Prabowo bisa memfungsikan KPK, inspektorat jenderal, BPK, dan komponen lainnya untuk melakukan penghematan nasional dan pemberantasan korupsi secara maksimal, maka dana yang dimiliki Indonesia ini sangat besar, mampu untuk menopang berbagai program yang dicanangkan. 100 hari ini, menurut saya, Presiden Prabowo belum cukup berhasil untuk mengorkestrasi pembiayaan pembangunan. Kondisinya, utang negara sudah mendekati 40 persen PDB, kebocoran anggaran yang tinggi, penerimaan pajak berbanding PDB masih sekitar 10 persen, penerimaan negara lain juga tidak cukup,” pungkas Ekonom Senior Indef ini.
Laporan: Ranny Supusepa