KedaiPena.Com- Pemimpin Indonesia di masa mendatang hendaknya dapat mengerti bagaimana mengambil kebijakan ekonomi yang efisien dan tepat sasaran. Bahkan, kebijakan dilandasi berbasis pada output bukan popularitas.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Demokrat atau FPD Sartono Hutomo menanggapi potensi krisis yang akan dihadapi pemimpin Indonesia di masa mendatang.
“Kebijakan yang secara efisien dapat meningkatkan perekonomian bukan hanya membangun. Semoga pemimpin muda dapat hadir untuk menyelesaikan pekerjaan rumah ini dengan baik,” jelas Sartono, Senin,(22/5/2023).
Pasalnya, kata Sartono, hal itu diperlukan lantaran pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)akan meninggalkan sejumlah permasalahan untuk pemimpin Indonesia selanjutnya. Sebagai contoh, pada periode pertama debt ratio Indonesia mencapai 30,56%.
Sartono menegaskan, angka tersebut turut meningkat hingga akhir periode Jokowi yang mencapai sekitar 39,17% atau sebesar Rp 7.879 triliun. Sartono yakin, kebijakan utang yang agresif tersebut akan menjadi warisan bagi pemimpin selanjutnya.
“Saat ini APBN telah terbebani pembayaran bunga utang mencapai Rp 441,4 triliun dan diproyeksikan tahun depan bisa mencapai Rp 480 hingga Rp 510 triliun. Pembayaran ini hanya untuk bunga tidak termasuk dengan pokoknya,” jelas Sartono.
Meski demikian, Sartono melanjutkan, melihat rancangan APBN tahun 2024, pemerintah sepertinya tidak akan mengerem untuk belanja negara dan cenderung meningkatkannya. Salah satu yang menjadi sorotan ialah kenaikan gaji PNS.
“Salah satu yang menjadi sorotan adalah rencana kenaikan gaji PNS ditengah tahun politik,” tutur Sartono.
Selain sisi anggaran negara, Sartono menambahkan, saat ini BUMN juga tengah mengalami masalah utang yang cukup pelik. Seperti, BUMN Karya yang selama ini menjadi motor pembangunan infrasturktur harus menelan kerugian dan menanggung utang dalam jumlah besar.
“Beberapa proyek infrastruktur yang dikerjakan tidak seiring dengan anggaran yang disiapkan,” tutur Sartono.
Sartono mengakui, BUMN tersebut seringkali menanggung beban infrastruktur tersebut di dalam neraca mereka. Bahkan, sampai ada BUMN Karya menunda pembayaran utang dan bunganya dikarenakan kekurangan arus kas.
“Tercatat empat BUMN karya terlilit utang mencapai Rp 214 triliun,” tegas Kepala Departemen Perekonomian DPP Partai Demokrat ini.
Sartono juga menyayangkan, pembangunan infrastruktur yang tak diimbangi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sartono pun menuturkan, ambisi Jokowi menaikkan laju PDB ke 7% seperti dinyatakan dalam Nawa Cita sayangnya masih jauh dari harapan.
“Sampai kuartal 1-2023, pertumbuhan ekonomi RI tercatat 5,03%. Selama 2014-2022, rata-rata pertumbuhan ekonomi bahkan hanya 4,26%. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan torehan laju pertumbuhan ekonomi RI selama SBY menjabat pada periode 2004-2013 yang sebesar 5,9% per tahun,” kata Sartono.
Sartono melanjutkan, besarnya anggaran infrastruktur juga ternyata tidak berbanding lurus dengan capaian pertumbuhan ekonomi tinggi. Hal ini, dapat terlihat skor Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di era Jokowi yang menjadi besarnya anggaran pembangunan.
“Sebagian besar didanai utang tak selalu diikuti dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) merupakan rasio antara tambahan output dengan tambahan modal,” ungkap Sartono.
Sartono menambahkan, apabila koefisien ICOR kecil, maka perekonomian daerah atau negara tersebut dinilai semakin efisien. Hal ini mengacu dari catatan data milik Center of Economic and Law Studies.
“Skor ICOR pada era Jokowi tercatat antara 6,2%-6,5%. Sedangkan skor ICOR zaman Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sekitar 4,5%,” tandasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena