KedaiPena.Com- Langkah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang melayangkan somasi kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) disesalkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Somasi itu dilayangkan Moeldoko lantaran dituding oleh ICW, terlibat dalam promosi maupun bisnis Ivermectin di tengah pandemi COVID-19.
Perwakilan koalisi yang juga Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reforme (ICJR) Erasmus Napitupulu meminta Moeldoko menghormati proses demokrasi yaitu kritik dari hasil penelitian ICW dan berfokus pada klarifikasi temuan-temuan tersebut.
“Tentu langkah ini amat disayangkan, sebab, semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik dalam menerima kritik,” kata Erasmus dalam keterangan tertulis, ditulis, Sabtu, (31/7/2021).
Erasmus menilai somasi tersebut sebagai bentuk pembungkaman atas kritik masyarakat. Padahal, ICW sebagai bagian dari masyarakat sipil sedang menjalankan tugasnya dalam fungsi pengawasan terhadap jalannya proses pemerintahan.
“Hal yang mana sangat lazim dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya, sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ujarnya
Apalagi, kata Erasmus, ICW menuangkan pendapatnya dalam sebuah penelitian yang didasarkan atas kajian ilmiah dengan didukung data dan fakta.
Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan langkah Moeldoko, baik somasi maupun niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan.
Semestinya, lanjut dia, pemerintah membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penanganan COVID-19 ini.
Namun, alih-alih dilaksanakan, Moeldoko selaku bagian dari pemerintahan justru menutup celah tersebut dengan mengedepankan langkah hukum ketika merespons kritik dari ICW.
“Padahal, penelitian ICW masih bertalian dengan konteks terkini, yaitu upaya pencegahan korupsi di sektor farmasi,” ujar Erasmus.
Erasmus berpandangan, langkah Moeldoko yang ingin melaporkan ICW ke aparat penegak hukum merupakan upaya pemberangusan nilai demokrasi. Pasalnya, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat.
Hal itu tertuang dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.
“Bahkan, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, diantaranya Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN,” beber Erasmus.
Erasmus juga menilai langkah Moeldoko ini berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia. Pada awal Februari lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi dengan skor 6.3.
“Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan. Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan,” pungkas Erasmus.
Laporan: Sulistyawan