Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
DI AMERIKA orang berkata:
“Journalist is not a game”.
Kewartawanan bukanlah permainan.
Ia punya tujuan sosial yang serius.
Dengan kemerdekaannya pers di sana jadi senjata ampuh melindungi demokrasi.
Untuk jasa keberpihakan itu misalnya setiap tahun sejak 1917 pers di sana diapresiasi dengan hadiah-hadiah bergengsi seperti Pulitzer, sehingga wartawannya banyak yang dikenal sebagai sosok pejuang dan penjaga nilai jurnalisme.
Bagaimana di sini?
Profesi wartawan yang merupakan vocatio (panggilan) sekarang cenderung sekedar job atau karir belaka.
Role model Pers Pejuang dan Pejuang Pers semakin sulit ditemukan.
Hal ini berkaitan pula dengan pola kepemilikan media yang oligopolistik dan tak sehat.
Dalam siaran terakhir ILC TVOne, Selasa, 15 Desember 2020, tokoh nasional Dr Rizal Ramli memberikan solusinya.
Pola oligopolistik kepemilikan media menurutnya sangat tidak sehat. Seorang pemilik media misalnya kini dibolehkan memiliki beberapa media dengan jumlah yang sangat mendominasi.
Namun dalam prakteknya media-media tersebut lebih banyak digunakan untuk kepentingan politik dan bisnis pemiliknya. Terutama sekali untuk mendapatkan akses dan mendekat kepada kekuasaan.
“Media dikuasai segelintir orang. Satu orang bisa punya belasan atau puluhan media,” tandas Rizal Ramli.
Pola seperti ini menurutnya harus diubah, yakni dengan memberikan ketentuan kepemilikan media cukup kepada satu orang, yakni satu orang satu media, dan pemiliknya idealnya harus benar-benar insan pers.
Seperti era pers sebelumnya di mana banyak lahir tokoh-tokoh Pers Perjuangan yang identik dengan media yang dimilikinya.
Rizal kemudian menunjuk contoh tokoh-tokoh Pers Perjuangan yang identik dengan media yang mereka miliki seperti Rosihan Anwar (Pedoman), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Suardi Tasrif (Abadi), atau BM Diah (Merdeka).
Dengan pola seperti ini secara bisnis media massa akan tetap bisa hidup. Pemasukan iklan tetap bisa berjalan.
Rizal Ramli teringat kepada kiat koleganya, Marzuki Usman.
Saat menjabat Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) pada 1980-an Marzuki Usman mewajibkan semua perusahaan go public untuk menerbitkan laporan keuangan yang teraudit di sejumlah media nasional.
“Kiat ini ternyata bisa menghidupi media yang fokus pada berita ekonomi dan bisnis hingga sekarang,” ujar Rizal Ramli.
Sebagai inovasi Rizal Ramli mengusulkan agar seluruh pemerintah daerah (Kota, Kabupaten dan Provinsi) di Indonesia wajib menerbitkan laporan keuangannya yang teraudit di media lokal, regional dan nasional, baik media digital maupun cetak.
Cara ini, menurut Rizal Ramli, akan menghidupi media yang saat ini sangat kompetitif.
“Laporan keuangan pemerintah daerah tersebut adalah cermin good governance yang dapat menjadi rujukan untuk membuat pemeringkatan kinerja Pemda maupun kepala daerah. Sehingga kepala daerah yang amburadul laporan keuangan dan kinerjanya tak layak lagi mencalonkan diri,” papar Rizal Ramli.
[***]