KedaiPena.Com – Maraknya calon kepala daerah yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Wakil Rektor Perbanas Institute Arus Akbar Silondae mengatakan, hal tesebut merupakan ekses dari demokrasi mahal yang terjadi di Indonesia.
“Jadi biaya yang besar di situ (proses demokrasi Indonesia). Bagaimana untuk mendapatkan itu (jabatan publik), kan mau gak mau keluar dari kantong pribadi. Atau bisa dari rekanan, perusahaan bahkan ada yang dari ijon (rentenir),” ujar dia di sela Dies Natalis ke-49 Perbanas Institute di kampus mereka, Setiabudi, Kuningan, Jakarta (21/2/2018).
Tapi, sambungnya, bantuan-bantuan itu tidak gratis. Harus ada balas jasa setelah yang bersangkutan menjabat.
Secara umum di masyarakat kita, saat ini nilai kejujuran, penghormatan kepada kemampuan bergeser kepada nilai-nilai materil.
“Siapa yang bisa memberikan materi lebih banyak lebih sering itu yang favorit. Akhirnya orang mencari bagaimana calon yang memberikan uang atau barang kepada konstituen dengan harapan dapat suara banyak. Itu berakumulasi berkembang menjadi kultur. Sistem yang menbuat budaya seperti itu,” tambahnya.
Arus pun memberi solusi agar praktek korup dalam pemilihan kepala daerah semakin minim. Caranya, dengan menyempurnakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
“Pengawasan justru lebih gampang. Kan cuma berapa anggota DPRD. Itu yang diawasi kalau ada money politik,” sambung pengamat hukum bisnis ini.
Laporan: Muhammad Hafidh