Artikel Ditulis oleh: Firdaus Cahyadi, Pemerhati Lingkungan Hidup
PADA tahun ini, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim (Conference of the Parties/COP 29) dan G20 berlangsung hampir bersamaan. KTT iklim di Baku, Azerbaijan, KTT G20 di Brazil. Presiden Prabowo Subianto memilih menghadiri KTT G20 daripada KTT Iklim. Untuk KTT iklim Prabowo menunjuk adiknya, Hashim Djojohadikusumo, jadi ketua delegasi Indonesia.
Pilihan Prabowo lebih menghadiri KTT G20 dan menunjuk Hashim, jadi ketua delegasi Indonesia di KTT Iklim memperlihatkan pemerintah tak begitu serius menangani krisis iklim. Pemerintah Indonesia masih menggunakan paradigma usang pembangunan yaitu ekonomi dahulu, ekologi kemudian.
Kenapa penunjukan Hashim memperlihatkan ketidakseriusan Pemerintah Indonesia menangani krisis iklim? Jawabannya singkat, Hashim tidak memiliki rekam jejak dalam memperjuangkan keadilan iklim. Bahkan, menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dia justru memiliki jejak dalam industri ekstraktif di Indonesia.
Ketidakseriusan Pemerintah Indonesia itu makin nampak ketika Hashim berpidato di KTT Iklim. Hashim mengatakan, pemerintahan Prabowo akan fokus mengembangan energi terbarukan skala besar yang bersumber dari energi angin, surya, tenaga air, panas bumi, dan nuklir. Dia juga bilang, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo tetap memperpanjang penggunaan energi fosil melalui teknologi teknologi penyimpanan emisi GRK berupa CCS (carbon capture storage).
Dapat dikatakan kedua substansi pidato Hashim justru memperomosikan solusi iklim palsu. Kenapa dikatakan solusi iklim palsu?
Dalam pidato Hashim, upaya mitigasi emisi GRK dari sektor energi justru berpotensi mengurangi kapasitas masyarakat dalam beradaptasi terhadap krisis iklim. Pengembangan energi terbarukan skala besar yang dia promosikan justru berpotensi menggusur masyarakat dari sumber-sumber kehidupannya.
Tersingkirnya masyarakat dari sumber-sumber kehidupan atas nama pengembangan energi terbarukan jelas menurunkan kapasitas mereka untuk beradaptasi terhadap krisis iklim. Inilah yang disebut solusi palsu krisis iklim.
Salah satu proyek energi terbarukan skala besar yang sering menyingkirkan masyarakat dari sumber-sumber kehidupannya itu adalah panas bumi (geothermal). Geothermal di Waesano, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan dana Bank Dunia, misal, mendapat perlawanan gigih masyarakat lokal.
Masyarakat merasa proyek itu akan menyingkirkan mereka dari sumber-sumber kehidupan. Penolakan masyarakat lokal itu membuat Bank Dunia menghentikan pendanaan proyek geothermal di Waesano.
Masih di NTT, proyek geothermal di Pocoleok, didanai Bank Pembangunan Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau/KfW) juga mendapat perlawanan dari masyarakat. Sama seperti di Waesano, masyarakat di Pocoleok juga menilai proyek yang mengatasnamakan energi terbarukan itu akan menyingkirkan mereka dari sumber-sumber kehidupannya.
Sebagian masyarakat Pocoleok yang melakukan perlawanan mendapat intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan dari aparat pemerintah. Hampir sebagian proyek geothermal di Indonesia mendapat perlawanan dari masyarakat lokal.
Pidato Hashim di KTT Iklim dipertegas lagi dengan pidato kakaknya, Presiden Prabowo di KTT G20. Di forum ekonomi itu Prabowo katakan, Indonesia adalah negara kaya dengan geothermal hingga itu akan mempercepat penghentian semua pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan fosil dalam 15 tahun ke depan. Artinya, ini lebih cepat dari target sebelumnya yaitu 2056.
Dengan kata lain, solusi palsu berupa energi terbarukan skala besar berbasis geothermal, dan biofuel yang akan menggantikan PLTU batubara yang akan ditutup. Ini ibaratnya, Indonesia keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya.
Bukan hanya itu, penutupan PLTU batubara bukan berarti Pemerintah Indonesia menutup operasional tambang batubara dan penggunaannya. Di pidato pelantikan, Prabowo memberikan arah kebijakan energi dalam lima tahun kedepan yang akan fokus pada swasembada energi. Celakanya, swasembada energi dari Prabowo masih bertumpu pada batubara.
Di berbagai kesempatan Prabowo juga mengatakan, saat ini banyak cadangan batubara baru ditemukan di Indonesia. Bahkan, ladang bekas Belanda juga bisa dimanfaatkan lagi dengan teknologi terkini. Menurut dia, batubara bisa menjadi DME (dimethyl ether). Padahal, bila penutupan PLTU batubara tidak diikuti menghentikan penambangan dan penggunaan batubara, hanya kamuflase hijau yang menyesatkan.
Seperti pidato adiknya di KTT Iklim, Prabowo juga akan melanjutkan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang ‘toilet’ karbon di Indonesia. Progam ‘toilet’ karbon di Indonesia itu bernama CCS (carbon capture storage). Teknologi CCS ini bagian dari solusi palsu transisi energi.
Bagaimana tidak, teknologi CCS juga menghasilkan emisinya sendiri, yang sering tidak diperhitungkan. Emisi GRK dalam teknologi CCS muncul saat proses penangkapan dan transportasi. Kebocoran dari emisi GRK selama proses CCS ini berlangsung bisa saja sama atau lebih besar daripada emisi GRK yang dapat disimpan. Akibatnya, penggunaan teknologi CCS ini akan menghalangi pengembangan energi terbarukan.
Publik seharusnya tidak bertepuk tangan ketika Prabowo berjanji mempercepat penutupan PLTU batubara. Publik justru harus mengkritisi pidato Prabowo di KTT G20. Kalau mencermati pidato Prabowo saat pelantikannya menjadi presiden dan pidato adiknya di KTT Iklim, percepatan penutupan PLTU batubara justru menjadi pintu masuk bagi solusi palsu transisi energi di sistem ketenagalistrikan Indonesia. Siapa yang diuntungkan dengan solusi palsu itu?
Pada 2024, ICW merilis laporan yang berjudul, “Siapa yang akan Diuntungkan? Bisnis Ekstraktif dan Energi Terbarukan di Balik Prabowo-Gibran.” Laporan itu mengungkapkan, pemain di bisnis energi terbarukan skala besar saat ini adalah pebisnis yang sebelumnya bergerak di sektor ekstraktif dan mereka juga dekat dengan kekuasaan Prabowo-Gibaran. Merekakah yang akan diuntungkan dengan solusi palsu transisi energi Prabowo dan Hashim?
Entahlah, yang jelas-jelas berisiko menanggung kerugian dengan solusi palsu energi terbarukan skala besar seperti geothermal, dan biofuel itu adalah masyarakat lokal. Mereka rawan tersingkir dari sumber-sumber kehidupan atas nama pembangunan energi terbarukan skala besar.
Tidak ada transisi energi adil bila dengan cara menginjak-injak hak masyarakat atas sumber-sumber kehidupannya.
(***)