Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Presiden Joko Widodo menjenguk Prabowo Subianto. Flyer itu banyak beredar di berbagai group WA dan media sosial minggu-minggu ini.
Pengobatan Prabowo mengingatkan kembali “politik medis”. Istilah yang dipergunakan dan dikupas dalam bab I, buku “Presiden Soeharto dan Visi Kenusantaraan”. Dengan judul sub bab “Indonesia Hingga Nafas Terakhir”.
Presiden terpilih Prabowo Subianto memang baru saja operasi kaki. Operasi besar. Kampanye lalu ia sering berjalan terseok-seok. “Kedringes”, kata orang Jawa.
Ketika turun dari terjun payung semasa aktif militer, kaki Prabowo tidak bertumpu secara tepat. Ototnya ketarik atau posisi engselnya ada yang tidak tepat. Dalam istilah bahasa Jawa disebut “kedringes”.
Apa hubungannya dengan politik medis?. Mari kita kembali ke buku.
Diawali kutipan protes aktivis senior. Ketika Menhankam Era Presiden Megawati Soekarnoputri, Matori Abdul Jalil berobat ke Singapura. Sebuah tanda merosotnya kewaspadaan para penyelenggara negara menjaga kedaulatan. Begitu analisis buku itu.
“Bagaimana mungkin pemerintah bisa mempertahankan kedaulatan NKRI yang luas ini. Jika setiap tarikan nafas seorang Menhankam dipertaruhkan pada ujung jarum suntik dokter-dokter Singapura. Negara tetangga yang akhir-akhir ini kebijakan negaranya sangat merugikan Indonesia. Lihat Pak Harto, seorang mantan Presiden yang sangat berkuasa, dan dihargai para pemimpin dunia. Akan tetapi mempercayakan perawatan kesehatannya pada dokter-dokter dalam negeri”.
Presiden Soeharto tidak pernah mempertaruhkan perawatan kesehatannya kepada dokter-dokter luar negeri. Ia hanya sekali general check up ke luar negeri. Bad Oeynhausen Jerman. Tidak berobat. Itupun dengan pengawalan Habibie. Orang yang sangat paham seluk beluk Jerman.
Bagi Presiden Soeharto, Indonesia hingga nafas terakhir. Hingga wafat ia di tangan perawatan dokter dalam negeri. Dokter-dokter RSPP.
Sejumlah analisis mengemuka. Sikap itu bukan semata pembuktian kecintaan SDM bangsa sendiri. Tindakan itu cerminan kehati-hatian mengelola negara. Termasuk dalam melindungi aspek-aspek pribadi dari kemungkinan dijadikan sebagai saluran intervensi. Oleh kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan tertentu dalam mempengaruhi kebijakan bangsa dan negara.
Buku itu memperkenalkan istilah politik medis. “Sebuah sekenario politik dengan melibatkan instrumen-instrumen medis yang ditujukan kepada seseorang, kelompok politik, pejabat, rejim tertentu, atau hal-hal yang terkait dengan negara/bangsa untuk mempengaruhi/ melumpuhkan/ melenyapkan eksistensi politik seseorang, kelompok politik, pejabat atau bahkan eksistensi sebuah bangsa dan Negara”. Berbeda dengan medical crimes. Ialah kejahatan kedokteran tanpa secara spesifik dilatari motif politik.
Gambaran politik medis itu apa yang menimpa Presiden Soekarno. Dirawat dokter-Dokter RRC sejak Juli 1965. Tanggal 4 Agustus 1965, muntah 11 kali. Hilang kesadaran 4 kali. Dokter-dokter RRC itu memvonis Presiden Soekarno akan lumpuh permanen atau segera wafat. Vonis itu mengabaikan analisis Dokter UI, Mahar Mardjono. Analisis dokter-dokter RRC itu menjadi alat propaganda politik. Untuk dahulu mendahului dalam perebutan kekuasaan. Meletuslah kudeta PKI 1965.
Di luar negeri juga pernah terjadi percobaan kemanusiaan Hitler. Membunuh banyak orang dengan skenario medis tertentu. Khususnya di kamp-kamp konsetrasi. Begitu pula kasus Benghazi Six dan Lockerbie, Libia. Politik Medis itu memang ada.
Apakah Presiden Soeharto belajar dari kasus-kasus itu. Menutup semua saluran intervensi dari pihak-pihak eksternal. Termasuk melalui pintu kesehatan pribadinya?.
Akhirnya tidak pernah mempercayakan kesehatannya pada dokter-dokter luar negeri. Atau hanya sekedar cinta SDM dalam negeri?. Kita hanya bisa menganalisisnya.
Apa Prabowo juga memiliki motif yang sama. Berobat di Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara (RSPPN) Panglima Besar Soedirman. Bintaro, Jakarta. RS dalam negeri baru diresmikan Februari tahun ini.
Bukan semata menunjukkan kompetensi SDM dalam negeri. Kecintaan terhadap SDM sendiri. Melainkan ada pesan lain. Tutup seluruh aspek pribadi dari intervensi eksternal?.
Jika benar, kedua motif itu tetap saja bermakna positif. Tidak latah berobat ke luar negeri. Sebagaimana pejabat-pejabat era reformasi.
Apalagi untuk berlindung dari kejaran KPK.
ARS ([email protected]), Jaksel, 02-07-2024.
[***]