UPAYA pemerintah menerapkan langkah ‘social distancing’ di tengah merebaknya wabah corona, dinilai akan mampu menahan laju sebaran kasusnya (corona).
Namun, adakah pula terpikirkan “dampak” langkah ini bagi pekerja dari golongan/status tertentu. Pekerja formal ataupun informal harian misalnya, ataupun pekerja kontrak maupun alihdaya di bidang proyek tertentu?
Berdasarkan UU No.13 tentang Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) kelompok pekerja berdasarkan status perjanjian kerjanya. Pada pasal 56 dan 57 disebut ada dua jenis Perjanjian Kerja di sana, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Pekerja yang bekerja berdasarkan kedua jenis perjanjian kerja itu disebut publik (pekerja/buruh) sebagai pekerja tetap dan pekerja kontrak. Untuk pekerja kontrak, bahkan jangkauannya bisa lebih meluas lagi, hingga ke pekerja harian lepas, pekerja magang dan seterusnya.
Di pasal lain, ada pula diatur keberadaan jenis pekerja lainnya. Pasal 64 menegaskan akan adanya pekerja alihdaya (outsourcing), baik pekerja alihdaya di sektor pemborongan maupun penyediaan jasa pekerja.
Umumnya, keseluruhan pekerja-pekerja tersebut “dinilai” bekerja berdasarkan (pengaruh) waktu kerjanya. Waktu kerja pulalah yang menjadi bagian dasar dari pembayaran upahnya.
Akan halnya waktu dan upah kerja itulah, diyakini memiliki relasi kuat dengan pemberlakuan ‘social distancing’ yang ditetapkan negara. Upah dan waktu kerja pekerja bakal terdampak dari kebijakan ‘social distancing’ tersebut.
Soal pengupahan pekerja/buruh, ada tiga komponen upah yang diperhitungkan. Adanya ketiga komponen ini menentukan besaran nominal pembayarannya. Pada pasal 94 UU Ketenagakerjaan dijelaskan, ada tiga komponen upah yang sedianya diterima buruh/pekerja, yaitu upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap.
Upah pokok dan tunjangan tetap diberikan tanpa mempertimbangkan waktu (lama/kehadiran) bekerja. Sementara, tunjangan tidak tetap dibayarkan tergantung waktu kerjanya. Lalu, apakah kedua kelompok pekerja tadi menerima seluruhnya komponen upah tersebut di pengupahannya ? Dan bagaimana pula, ketika nanti upah dibayarkan atas jam kerja?
Bagi pekerja berstatus hubungan kerja sebagai PKWTT, waktu (kehadiran) kerja tidak sepenuhnya berpengaruh atas perolehan upahnya. Beda halnya dengan pekerja yang berstatus PKWT. Kelompok ini dimungkinkan bagi upah yang diterimanya atas dasar waktu bekerjanya. Tidak hadir, tidak tercatat waktu kerjanya. Sehingga upah pun tidak dibayarkan/diperoleh.
Upah pekerja kontrak dan pekerja harian lepas, dibayarkan berdasarkan kehadiran (waktu bekerja) pekerja di lokasi kerjanya, selain pula dari hasil kerja tentunya. Demikian halnya untuk pekerja magang (meski tidak dikenal di UU Naker) dan pekerja proyek/borongan. Di lain sisi, pekerja di sektor informal, perolehan penghasilannya (upah) juga sangat bergantung pada aktifitas hariannya.
Dalam konteks dunia kerja, pemberlakuan ‘social distancing’, patutnya mensyaratkan pekerja absen atas kehadirannya secara fisik. Aktifitas bekerja dilakukan di lokasi terpisah, tidak terhubung ke pekerjaannya di lokasi kerja.
Presiden telah meminta seluruh warga negara untuk melakukan ‘social distancing’, tinggal di rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah.
Soal siapa pekerja terdampak atas hal tersebut, hingga hari ini, Negara belum berperan untuk mengatasinya.
Mungkinkah permintaan Presiden tersebut tertuang di surat keputusan nantinya?
Mungkinkah pula, ‘social distancing’ diikuti pula oleh kebijakan ‘social wage’, upah “sosial” yang besaran dan pemberiannya (mungkin) disepakati oleh ketiga pihak? Buruh/Pekerja, Pengusaha dan Negara?
Saatnya berjalan selaras, mendukung social distancing bagi ketahanan negara dalam menghadapi bencana.
Oleh Achmad Ismail, Gerakan Buruh dan Pekerja BUMN (Geber BUMN)