Artikel ini ditulis oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Tinggal di Bandung.
Adanya “presidential threshold” (PT) dalam pengajuan calon presiden adalah gambaran tidak demokratisnya sistem berpolitik bangsa.
Apalagi dengan angka 20 persen, maka sangat kentara disain “political discrimination” yang tajam untuk menggerus kedaulatan rakyat.
Partai politik adalah pilar utama negara demokrasi yang memiliki fungsi strategis dalam rekrutmen, sosialisasi kebijakan, artikulasi, maupun agregasi politik.
Sebagai institusi dalam infrastruktur politik, keberadaan dan peran partai politik tidak mungkin dapat dinafikan.
Keragaman paham dan ideologi menyebabkan kemajemukan dalam pengelompokan politik.
Sayangnya dalam praktek politik, partai politik sebagai elemen demokrasi sering menampilkan diri sebagai institusi yang paling tidak demokratis.
Kekuasaan tidak pada anggota partai. Pimpinan atau lebih spesifiknya ketua umum lartai justru memiliki kekuasaan yang sangat besar. Menjadi penentu, pengendali dan pengetuk palu hak veto.
Partai politik ketika mengkampanyekan isu demokrasi sebenarnya sedang menipu dirinya sendiri, karena ia berada di antara dua tiang penyangga yaitu quasi dan ambivalensi.
Antara otokrasi dan oligarki. Sulit membedakan antara menegakkan kebenaran dengan kebetulan saja bervisi benar. Sisanya adalah memperbesar kekuasaan sendiri dengan cara yang tidak benar.
Dalam memperbesar kekuasaannya sendiri kelicikan dilakukan. Contohnya adalah PT 20 persen.
Partai pemilik 20 persen melenggang, koalisi dibuat untuk hegemoni, hak rakyat habis dikebiri.
Digiring ke sana kemari seperti biri-biri agar mau memilih yang sudah terpasang jadi. Kompetisi pun hanya menjadi permainan di antara elit mereka sendiri.
Memang di negara Indonesia pada rezim model begini, jika jujur ditanyakan siapa elemen demokrasi yang paling tidak demokratis? Maka jawabannya tentu partai politik. Partai politik adalah perusak demokrasi.
[***]