KedaiPena.Com – Dahulu, pasca Perang Dunia II, banyak filsuf dunia bilang imperialisme bilang sudah mati. Tapi hal itu dibantah oleh Presiden RI pertama, Ir Soekarno. Ia bilang imperialisme belum mati, imperialisme sedang sekarat.
Nanti akan penjajahan dalam bentuk baru yang disebut neo imperialisme dan neokolonialisme. Dan yang dibilang Bung Karno benar, imperialisme belum mati. Imperialisme muncul dalam bentuk baru dengan salah satu polanya menggunakan perjanjian internasional.
Demikian disampaikan analis senior Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo dalam diskusi Ngopi Senja di Pamulang, Tangsel, belum lama ini.
“Sejak Indonesia terbentuk pada 1945 sampai sekarang, pemerintahan Indonesia sudah melakukan ratifikasi, baik bilateral maupun multilateral. Baik dengan negara atau non negara,” kata dia.
“Nah, harus pahami dulu, makna ratifikasi. Banyak definisi soal ini, secara sederhana ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional yang dituangkan dalam peraturan formal sebuah negara. Ratifikasi dijelaskan dalam UU 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,” sambungnya.
“UU ini menegaskan bahwa ratifikasi adalah bentuk pengesahan, perbuatan hukum mengikatkan diri dengan Perjanjian Internasional. Jadi suatu negara jika meratifikasi, Perjanjian Internasional, maka negara itu terikat,” sambungnya.
Sebenarnya soal ratifikasi tergantung dari suatu negara, apakah negara itu mau ikut menyepakati atau tidak. Tetapi pada prakteknya, banyak negara dipaksa melakukan ratifikasi dalam suatu Perjanjian Internasional. Meski patut disadari, sebuah negara perlu membangun pergaulan dengan bangsa-bangsa lain.
Perjanjian Internasional memang diperlukan, tapi dalam melakukan ratifikasi, sebuah negara harus punya prinsip. Dan Indonesia semestinya harus merujuk pada UUD 45 dan Pancasila. Jika ada tidak sesuai dengan nilai itu, tentunya harus ditolak. Ini prinsip dasar yang tidak boleh digugat.
“Misalkan dalam meratifikasi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) pada 1982, ini sesuai dengan kepentingan nasional kita yang diperjuangkan dalam Deklarasi Djuanda, bahwa laut adalah penyambung wilayah Indonesia. Ini juga sesuai dengan pembukaan, batang tubuh dan Pancasila, kedaulatan. Ini prinsip yang harus dilakukan dalam perjanjian internasional. Dan prinsipnya harus UUD asli, bukan hasil amandemen pada 2002, yang diubah empat kali,” tegasnya lagi.
Nah, hal berbeda dilakukan dengan CAFTA, pemerintah Indonesia, ketika kepemimpinan Presiden SBY, malah meratifikasi itu dengan perpres. Padahal, Indonesia itu belum siap menghadapi pasar bebas. Ini adalah hal yang menjerumuskan.
“Ada lagi AFTA, ASEAN-New Zealand, Australia Free Trade, Indonesia-Japan Free Trade Agrement, lalu dengan IMF dan banyak sekali yang bertentangan dengan prinsip dasar kita,” tandas Karyono.
(Prw)