PERSEPSI negatif negara Eropa terhadap produk sawit Indonesia sudah berlangsung lama. Bahwa sawit tidak ramah dan merusak lingkungan, penyebab deforestasi, dan lainnya.
Pada 4 April 2017 Parlemen Eropa mengesahkan “Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests”, yang isinya adalah laporan negatif dan mendiskreditkan sawit Indonesia.
Bahwa sawit Indonesia dihasilkan dari praktik korupsi, mengeksploitasi pekerja anak, melanggar HAM, dan menghilangkan hak masyarakat adat.
Laporan itu menunjukkan parlemen Eropa bersikap abuse of power, menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya, dan menunjukkan menjadi subordinasi dari kepentingan ekonomi perusahaan minyak yang terancam dengan produk sawit Indonesia.
Hal yang semakin jelas menjadi bukti bahwa parlemen Eropa menjadi alat politik dari perusahaan minyak ialah dengan merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk mengubah investasi dari sawit ke minyak bunga matahari (sunflower oil) dan rapeseed oil.
Kita tahu bahwa sawit sulit tumbuh di tanah Eropa. Sedangkan dari sisi keunggulan produk komoditas dan ekonomi, sunflower dan rapeseed kalah dibanding sawit dan produk turunannya.
Hal ini menyebabkan korporat yang menggunakan bahan baku bunga matahari secara ekonomi kalah bersaing dengan sawit sehingga mengancam produksi pabrik mereka.
Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi dan konvensi internasional untuk kelestarian lingkungan, ekologi, dan ekosistemnya.
Perkebunan sawit Indonesia yang luasnya 11 juta Ha, baik yang dikelola korporat (55 persen) maupun petani sawit rakyat (45 persen) juga harus tunduk pada aturan tersebut.
Meski ada beberapa kasus penyimpangan pengelolaan, namun pemerintah telah bertindak tegas untuk menegakkan hukum dan aturan demi sustainable development.
Pemerintah harus melakukan perjuangan diplomasi atas sikap parlemen Eropa. Negara harus hadir untuk membela eksistensi sawit Indonesia di perdagangan internasional. Ini adalah perang dagang internasional.
Para pihak korporat produk sunflower oil dan di Eropa rapeseed oil telah menggunakan parlemen Eropa untuk memyuarakan kepentingan mereka.
Oleh, Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI