KedaiPena.Com – Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) nomor 2 tahun 2022 soal yang mengatur tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) sangat keterlaluan. Pasalnya, dalam aturan itu disebutkan bahwa JHT baru bisa dicairkan saat usia mencapai 56 tahun atau usia pensiun.
“Bagi saya keterlaluan, menahan hak pekerja dengan merubah persyaratan klaim JHT tersebut dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 itu, yang mana dalam aturan baru itu dana baru dapat dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun,” tegas Deputi Strategi dan Kebijakan Balitbang DPP Demokrat Yan Harahap, Senin,(14/2/2022).
Yan menjelaskan, jika aturan tersebut keterlaluan lantaran pekerja yang di PHK atau berhenti lantaran keinginanya saat berusia 36 tahun baru dapat melalukan klaim 20 tahun kemudian.
“Keterlaluan ini. Semestinya pekerja yang mengundurkan diri atau di-PHK itu berarti telah berhenti bekerja dan berhenti membayar iuran,” ungkap Yan.
Dengan demikian, Yan memandang, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menahan hak para pekerja sampai usia 56 tahun. Menurut Yan, hal itu lantaran para pekerja tersebut bukan lagi sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
“Pemerintah tak baik menahan-nahan hak pekerja dengan cara merubah tata cara klaim JHT pekerja dengan cara membuat aturan baru yang justru dapat mempersulit hidup para pekerja. Tak baik itu,” beber Yan.
Meski demikian, Yan menilai, munculnya aturan ini patut diduga lantaran pemerintah sudah mulai putus asa atau katakanlah panik mengelola keuangan BPJS Ketenagakerjaan.
“Sebab infonya persentase pembayaran klaim JHT cukup tinggi khususnya bagi pekerja yang mengundurkan diri dan di-PHK,” ungkap Yan.
Jadi, kata Yan, bukan tidak mungkin BPJS Ketenagakerjaan kesulitan dana akibat pengelolaan dana yang tak profesional sehingga berpotensi gagal bayar jika pekerja melakukan klaim JHT.
“Mungkin saja regulasi melalui permenaker No.2 tahun 2022 ini ‘terpaksa’ dikeluarkan untuk menghindari gagal bayar terhadap hak-hak pekerja,” papar Yan.
Yan pun berharap, agar aturan tersebut tidak juga menjadi alasan pemerintah lantaran mulai kesulitan mencari utangan dan membuat uang para pekerja menjadi korban.
“Uang pekerja pula yang ditahan-tahan, ya kan?,” tandas Yan.
Laporan: Muhammad Lutfi