KedaiPena.Com – Pemerintah Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bakal menguasai 51 persen dari saham PT Freeport Indonesia. Saat ini, Inalum belum dipastikan menguasai saham Freeport sebelum melakukan pembayaran.
Inalum baru resmi menguasai sebanyak 51 persen saham Freeport setelah melakukan pembayaran sebesar US$ 3,85 miliar atau setara dengan Rp 56 triliun kepada FCX diselesaikan sebelum akhir tahun 2018.
Hal tersebut membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) senang. Hal tersebut terlihat dalam unggahan di akun Instagram pribadi, yang mengaku optimistis Indonesia akan memiliki 51,23 persen saham PTFI.
“Pada akhir tahun 2018 ini, insya Allah, Indonesia akan sepenuhnya menguasai 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia, melalui holding industri pertambangan kita PT Inalum (Persero),” kata dia, belum lama ini.
Kepala Negara menerangkan, perjanjian lanjutan itu ditandatangani oleh Direktur Utama Inalum Budi G. Sadikin dan Presiden Direktur Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson.
“Perjanjian yang diteken kemarin itu adalah Perjanjian Divestasi PTFI, Perjanjian Jual Beli Saham PT Rio Tinto Indonesia, dan Perjanjian Pemegang Saham PTFI,” imbuh Presiden.
Melalui hasil perjanjian itu, jumlah saham PTFI yang dimiliki Inalum akan meningkat dari sebelumnya sebesar 9,36 persen menjadi 51,23 persen. Dari persentase itu, Pemerintah Daerah Papua akan memperoleh 10 persen dari 100 persen saham PTFI.
Perubahan kepemilikan saham ini akan secara resmi terlaksana setelah transaksi pembayaran sebesar US$3,85 miliar kepada Freeport McMoran diselesaikan sebelum akhir tahun 2018. Kepala Negara juga akan memastikan seluruh proses menyangkut divestasi saham Freeport ini dilakukan secara transparan.
“Dengan selesainya proses divestasi saham PTFI dan peralihan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambahan Khusus, Freeport Indonesia akan memberi kontribusi kepada negara yang lebih besar,” tandasnya.
Hati-hati Seperti Newmont
Divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen kepada pemerintah Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) berpotensi merugikan negara. Kerugian tersebut sama halnya ketika divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT)
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengingatkan, satu catatan yang harus dibuat oleh pemerintah adalah perbedaan kasus antara divestasi saham Newmont dan divestasi saham Freeport.
“Karena kedua-duanya dapat berakhir sama, mengingat ada pola yang sama yaitu pelibatan pihak ketiga yang akan menanggung utang pemerintah dalam melakukan pembelian saham itu terjadi dalam kasus Freeport dan ini pernah juga terjadi dalam kasus Newmont,†kata Fahri melalui pesan singkat kepada wartawan, ditulis Senin (1/10/2018).
Lanjut politisi dari PKS itu, pemerintah perlu mengevaluasi kenapa divestasi Newmont gagal dan divestasi Freeport bisa dianggap sukses, padahal keduanya memiliki pola yang sama.
“Saya justru mengkhawatirkan karena ini polanya sama akan berakhir dengan kerugian yang sama, mengingat ada ketidakjelasan pihak yang diajak dalam memberikan pinjaman dan bisa saja pihaknya adalah pihak yang sama,†tegasnya.
Dan pada akhirnya, lanjut Fahri, pemerintah bisa terjebak dalam reinvestasi yang kemudian memerlukan uang dan berakhir pemerintah harus mendilusi sahamnya sehingga habis bahkan menanggung utang.
“Semua ini harus dijelaskan pemerintah, selain berita gembira yang dicoba disampaikan kepada masyarakat,†tegas politikus asal NTB itu.
Bahkan, Anggota DPR asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mempertanyakan pemerintah soal kepemilikan saham kepada NTB dalam divestasi Newmont.
Hal itu mengingat, pemberian 10 persen saham kepada Papua dalam divestasi saham Freeport.
“Sebab masyarakat NTB juga bertanya kenapa kami tidak bisa mendapatkan 10 persen saham sementara Papua mendapatkan 10 persen saham. Sebagai anggota DPR dari NTB saya menitipkan pertanyaan ini kepada pemerintah untuk dijelaskan kepada masyarakat nasib dari kepemilikan saham NTB dalam divestasi Newmont,†kata Fahri.
Divestasi Newmont Rugikan Negara Rp223,69 Miliar
Perlu diingat, sejak 2009 pemerintah melalui PT Multi Daerah Bersaing, perusahaan patungan antara PT Daerah Maju Bersaing milik pemerintah dan PT Multi Capital, anak usaha PT Bumi Resources, Grup Bakrie, membeli 24 persen saham NNT seharga US$ 867 juta.
Lantaran sejak 2011 NNT tak lagi membagikan keuntungan, pemerintah menjual kembali seluruh saham itu kepada PT Amman Mineral Internasional yang mengakuisisi NNT, senilai US$400 juta pada 2016.
Angka US$ 400 juta itu ditengarai terlalu kecil dibandingkan dengan penjualan saham oleh Newmont Mining Corporation ke PT Amman sebesar US$ 1,3 miliar untuk 48,6 persen pada tahun yang sama.
Indikasi kerugian negara akibat divestasi Newmont telah dilaporkan Indonesia Corruption Watch ke KPK 6 tahun lalu. Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas mengatakan klausul perjanjian kerja sama dalam divestasi saham NNT telah merugikan pemerintah sejak awal.
Dari komposisi kepemilikan saham saja, pemerintah sudah rugi karena mayoritas dikuasai oleh PT MC sebagai pemodal terbesar. “Kita hanya kebagian 6 persen. Meski kecil harus dilihat setiap tahun berapa dividen yang berhak kita dapatkan,†kata Firdaus.
Laporan pemerintah daerah dan BUMD NTB pada 2010 menunjukkan dividen yang sudah diterima dari konsorsium sebesar US$34 juta atau sekitar Rp306 miliar (kurs Rp 9.000 pada 2011).
Namun, berdasarkan laporan keuangan PT Bumi Resources Minerals Tbk, nilai utang terhadap PT Daerah Maju Bersaing hingga 2011 mencapai US$ 26,217 juta atau sekitar Rp 241,3 miliar.
Maka nilai aktual dividen yang diterima PT Daerah Maju Bersaing untuk saham 6 persen hanya sekitar US$ 7,3 juta atau.
Sebab, klausul perjanjian yang dirancang tidak memperlihatkan adanya keuntungan yang akan diterima negara.
Menurut perjanjian, seharusnya NNT rutin memberi dividen per tahun ke pemerintah. Namun yang terjadi, sejak 2011, NNT tidak pernah lagi memberi dividen. KPK sendiri masih mendalami kasus yang menyeret nama mantan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi yang diduga menerima gratifikasi ini.
Laporan: Muhammad Hafidh