SOAL Freeport dan tema perebutan kekayaan alam memang tidak pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, berdasarkan data per 31 Desember 2016, total cadangan tembaga Indonesia (26,9miliar lbs) adalah yang terbesar ketiga di dunia setelah cadangan di Amerika Utara (30,4 miliar lbs) dan Amerika Selatan (29,5 miliar lbs). Total penjualan bijih tembaga Indonesia tahun 2016 (1,1 miliar lbs) juga menduduki yang terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Utara (1,8 miliar lbs) dan Amerika Selatan (1,3 miliar lbs).
Selasa, 4 Juli 2017, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat, terjadi rapat di Kementerian Keuangan yang membahas mengenai kelanjutan bisnis perusahaan tambang asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia. Rapat tersebut dihadirioleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta pejabat kementerian lain yang berkaitan.
Sebuah media nasional, yang sejak lama sangat dekat dengan Sri Mulyani, memberitakan bahwa rapat koordinasi tersebut menyetujui perpanjangan operasi Freeport di Indonesia.
Masih pada hari yang sama, 4 Juli 2017. Setelah muncul berita tentang persetujuan pemerintah untuk perpanjangan kontrak Freeport, Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M Djuraid ternyata menolak anggapan tersebut. Ia menyatakan bahwa Kementerian ESDM tidak menyetujui perpanjangan kontrak Freeport.
Keesokan harinya, 5 Juli 2017, Menteri ESDM membantah terjadi pembicaraan tentang perpanjangan kontrak Freeport.Menurut Jonan, rapat di Kementerian Keuangan tanggal 4 Juli merupakan inisiatif Sri Mulyani dalam rangka membahas Freeport khusus di aspek perpajakan, retribusi daerah, dan royalty.
Inisiatif Sri Mulyani belum berakhir. Pada tanggal 10 Juli 2017, dirinya yang gantian bertandang ke Kementerian ESDM dengan tema renegosiasi Freeport. Setelah rapat yang hanya dihadiri dua menteri tersebut, Ignasius Jonan dan Sri Mulyani, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjelaskan kepada pers, bahwa tidak ada hal yang baru dalam pertemuan tersebut.
Pada 8 Agustus 2017, sebuah media nasional memberitakan, bahwa Sri Mulyani berkunjung ke kantor mereka untuk bercerita masalah penerimaan negara yang harus lebih besar dalam kontrak Freeport ke depan. Dalam berita yang sama, media yang juga telah terlanjur mem-framing pemerintah setuju perpanjangan Freeport pada 4 Juli 2017, menulis: “Perundingan akan berlangsung hingga Oktober nanti. Presiden Direktur Freeport McMoran Richard Adkerson mengatakan, bila negosiasi buntu, perusahaan bakal melanjutkan tuntutan melalui arbritase internasionalâ€.
Hingga akhirnya tiga minggu kemudian pada tanggal 29 Agustus 2017, terjadilah kesepakatan awal antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Sri Mulyani dan Ignasius Jonan dengan Richard Adkerson dari Freeport McMoran (FCX, induk Freeport di AS). Dalam konferensi pers bersama di kantor Kementerian ESDM, dipaparkan tiga kesepakatan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia dan Freeport.
Berikut kesepakatannya:
1. Freeport Indonesia sepakat untuk melakukan divestasi 51% saham kepada pihak Indonesia
2. Freeport Indonesia berkomitmen membangun smelter dalam 5 tahun sampai Januari 2022, atau 5 tahun sejak Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK) keluar.
3. Freeport Indonesia sepakat menjaga besaran penerimaan negara sehingga lebih baik dibanding rezim Kontrak Karya (KK).
Sri Mulyani mengatakan bila ketiga kesepakatan tersebut merupakan hasil arahan dari Presiden Jokowi. Dan perpanjangan izin operasi Freeport bisa diberikan bila ketiga hal kesepakatan tersebut disetujui.
Jadi, sebagai kesimpulan: kiprah Sri Mulyani sangat menentukan dalam percepatan perpanjangan kontrak Freeport. Tanpa inisiatifnya yang kuat sejak 4 Juli, Hari Kemerdekaan AS, tidak mungkin terjadi kesepakatan awal Freeport dengan Indonesia pada 29 Agustus 2017.
Kesepakatan Awal dengan Freeport Merugikan Jokowi di Tahun Politik
Seharusnya Presiden Jokowi tidak kesusu memperpanjang kontrak Freeport di Indonesia. Bila ini konsisten dengan himbauannya pada Sidang Paripurna Kabinet 29 Agustus 2017,yang meminta kepada para menteri di kabinetnya agar tidak membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada publik.
Publik di Indonesia banyak yang menentang hasil kesepakatan tersebut. Suara-suara kritik mulai lahir dari kalangan oposanterhadap kebijakan pemerintah –yang berkepentingan nasional jangka panjang semacam kontrak Freeport—yang tetap harus didengarkan. Karena, jangan sampai nanti, pada era kepemimpinan nasional pasca Jokowi, saat oposan Jokowi yang berkuasa, kebijakan tersebut diubah lagi. Jangan sampai soal perpanjangan Freeport yang kesusu ini menbebani Jokowi di tahun Politik 2018 nanti.
Presiden Jokowi sudah benar, dengan , mengatakan, “Saya harapkan menteri sekali lagi tidak membuat kebijakan-kebijakan baru yang kira-kira belum dikonsultasikan ke publik, pada masyarakat,belum melalui kajian dan dan perhitungan-perhitungan yang mendalam, sehingga justru bisa bikin hal yang tidak diinginkan masyarakat dan membuat masyarakat kecewa”.
Kesepakatan dengan Freeport yang diinisiasi oleh Sri Mulyani tanggal 29 Agustus 2017 tidak lebih baik dari Kontrak Karya tahun 1991 zaman Suharto. Berikut ini akan coba kami paparkan kenapa sampai berkesimpulan demikian.
Soal divestasi, KK 1991 juga sudah membicarakan tentang divestasi saham 51% untuk Indonesia harus selesai pada tahun 2011. Bahkan ini lebih baik, karena menurut KK 1991 divestasi saham dapat dilakukan dengan opsi berdasarkan harga pasar saham yang berlaku di Bursa atau sesuai dengan kebijakan pemerintah. Jadi tidak harus dijual sesuai harga pasar, seperti yang telah disepakati Sri Mulyani dengan Richard Adkerson tanggal 29 Agustus 2017.
Freeport kembali melakukan waprestasi dalam hal divestasi karena tidak melakukan pelepasan secara aturan yang disepakati dalam KK 1991. Yaitu sebesar 10% hingga 1996, dan 2,5% setiap tahun sejak 2001 hingga memenuhi 51% bagian Negara Indonesia sebelum tahun 2021 (Hal 78-79, Pasal 24 Kontrak Karya PT Freeport Indonesia 1991).
Sementara, soal pembangunan Smelter, KK 1991 menyatakan bahwa pembangunan smelter, fasilitas peleburan dan pemurnian tembaga, harus sudah terbangun “5 (lima) tahun†setelah KK 1991 ditandatangani. Atau dengan kata lain, pada tahun 1996 harus sudah ada smelter di Indonesia. Bukankah ini cukup mirip dengan hasil kesepakatan yang dibuat Sri Mulyani: Kita sepakati sekarang di 2017, lima tahun lagi di tahun 2022 pembangunan smelter sudah harus selesai.
Tapi mengingat telah terjadi wanprestasi Freeport untuk menyelesaikan pembangunan smelter selama 21 tahun (smelter seharusnya sudah terbangun sejak 1996!), harusnya pemerintah berkebijaksanaan lebih tegas ke depan. Pembangunan smelter di Gresik tidak sesuai kualifikasi yang disepakati KK 1991 karena hanya berkapasitas 30% dari total produksi Freeport.
Penerimaan Negara. Pemerintah memiliki potensi pendapatan negara sangat besar dari Freeport berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas penerapan kontrak karya Freeport tahun anggaran 2013 hingga 2015 menemukan enam pelanggaran lingkungan yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 185 triliun.
Kami sih tidak yakin Sri Mulyani mampu menindaklanjuti laporan BPK ini dan kemudian mendapatkan tambahan penghasilan negara. Harus ada pejabat Jokowi yang lebih pintar dan berani dalam menekan Freeport. Setidaknya pejabat itu harus yang sekelas Rizal Ramli. Seperti diketahui, Rizal Ramli pada era Gus Dur sempat berhasil menekan Freeport menyepakati untuk memberikan 5 miliar dollar tahun 2001 (yang bila dikonversi kurs saat ini sebesar Rp 65 triliun). Hanya sayang kesepakatan ini tidak ditindaklanjuti rezim setelah pemerintahan Gus Dur.
Tentang pajak juga tidak seharusnya kita didikte oleh Freeport.Indonesia adalah negara yang berdaulat dan memiliki aturan hukum tentang perpajakannya sendiri yang harus dihormati oleh pihak manapun, termasuk oleh Freeport.
Kita sampai pada penghujung tulisan yang agak kepanjanganini. Seharusnya, bila kita benar-benar mematuhi perundangan,sebenarnya Jokowi masih punya waktu hingga tahun 2019 untuk melakukan perpanjangan kontrak Freeport. Ya, baik di KK 1991 maupun UU Minerba 2009 sebenarnya mengindikasikan, bahwa kontrak Freeport dapat diperpanjang selambatnya 2 tahun sebelum berakhirnya kontrak Freeport tahun 2021, yaitu pada tahun 2019. Tidak perlu kesusu perpanjang kontrak Freeport di 2017 ini. Karena banyak keuntungan politik dan ekonomi yang akan didapat Jokowi dari mengulur waktu hingga ke 2019.
Secara ekonomi, bila diundur kesepakatan akhirnya hingga 2019, harga saham Freeport pasti akan lebih rendah dari sekarang dan Indonesia dapat membelinya lebih murah. Kita tidak akan tahu akan terjadi apa selama dua tahun ini. Bahkan bila seandainya tidak ada kesepakatan di tahun 2019, dan akhirnya batas waktu lewat, Republik Indonesia bahkan dapat memperoleh hak mengelola sisa tambang Grasberg dengan tanpa membeli selembar saham pun. Alias gratis.
Secara politik, bila mengundur kesepakatan hingga 2019, Jokowi dapat menghindari gebukan dari publik yang kecewa atas kesepakatan awal 29 Agustus 2017. Dan kemudian selamat di Tahun Politik 2018. Selain itu dengan mengulur hingga 2019, Jokowi dapat saja bermanuver politik menarik dukungan publik dengan mengobarkan nasionalisme dalam hal perpanjangan Freeport. Daripada membiarkan manuver semacam ini dilakukan lawannya di 2019 nanti.
Bukankah ini adalah keahlian Jokowi, mengulur waktu, menunggu momentum. Bila ada menteri seperti Sri Mulyani yang seperti kesusu untuk memperpanjang kontrak Freeport, ya mbok dicuekin saja dulu, Pak Presiden. Bila yang bersangkutan terus mendesak dan terus mendesak, ya tinggal di-reshuffle saja. Gitu aja koq repot.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan