KedaiPena.Com – Tata kelola migas nasional sepertinya  semakin hari kok semakin tidak jelas saja. Sebab, saat sekarang semua kebutuhan migas kita lebih banyak impor daripada ekspornya, baik minyak mentah , BBM , LPG dan kondensatnya dan lainya.
Demikian dikatakan pengamat energi CERI, Yusri Usman kepada KedaiPena.Com, Minggu (30/10)
“Faktanya sekitar tanggal 26 oktober 2016 kita danya ekspor kondensat oleh Perusahaan yang mempunyai izin niaga , yaitu melakukan ekspor kondensat berasal dari PT Gasuma Federal Indonesia (GFI) Tuban, normaliter  diduga memeroleh rekomendasi dari Ditjen Migas Kementerian ESDM untuk melakukan ekspor kondensat,” jelas dia.‎
Adanya izin dan rekomendasi ekspor kondensat tersebut, sambungnya, disinyalir telah melanggar UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dan Peraturan Menteri Perdagangan ( Menperdag) Â nomor 3 tahun 2015 yang direvisi dari Permendag nomor 42 tahun 2009 dirancang khususnya untuk mencegah mafia migas.
“Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sumber saya, kargo pertama ekspor kondensat telah dilakukan pada Rabu (26/10) lalu,” tambahnya.‎
Adapun periode ekspor biasanya hingga akhir tahun atau per kuartal. Satu kali izin ekspor kerap digunakan untuk tiga hingga empat lifting kondensat.Â
“Tujuan ekspor kondensat tersebut diduga ke Singapura dan Thailand dengan menggunakan kapal MT Danai 8 , kapal ini dari dulu sering digunakan untuk kepentingan Kernell Oil sebelum Rudi Rubiandini kena OTT KPK,” dia menambahkan‎
‎
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) ini juga berkomentar, juga mendengar kabar ada perusahaan atas nama PT Kimia Yasa dan PT Laban Raya Samodra yang bertugas mengurus izin ekspor kondensat dari produk PT GFI tersebut.
‎
“Kalau informasi ini benar, dialah pemain lama. Anehnya kebutuhan kondensat dalam negeri masih sangat kekurangan, kenapa ini malah diekspor. Rekomendasi yang akan dikeluarkan Ditjen Migas berpotensi melanggar UU Migas dan Permendag serta potensi hilangnya pemasukan negara dari pajaknya,†kata dia lagi.‎
Yusri menjelaskan, kabar yang diperoleh, ekspor kargo kondensat tersebut melalui Pelabuhan Dovechem Maspion Terminal (DMT) di Gresik yang dikelola PT Dovechem Maspion Terminal , dan posisi kapal hari sabtu siang masih diseputaran pulau Madura.
PT GFI diketahui selama ini memproduksi elpiji sebanyak 50 ton dan kondensat 450 barel per hari (bph), serta produksi gas sebanyak 14 MMscfd. Perseroan memeroleh sumber flare gas dari JOB PetroChina.
Menurut Yusri, ekspor kondensat yang dilakukan PT GFI sangat ironis , di tengah banyak industri Cat ,  thiner dan Lem  di Indonesia yang membutuhkan kondensat sebagai pelarut dengan spesifikasi yang sesuai yang dihasilkan oleh PT GFI.
“Kebutuhannya mencapai 2.000 barel perhari (bph). Jadi industri pengguna kondensat sebagai solven atau pelarut masih kurang sekitar per harinya 1.000 bpd. Nah apakah ini tidak dikatakan gila kalau dipaksakan ekspor?†tegasnya.
Di satu sisi, imbuh dia, kondensat yang diproduksi PT GFI itu tidak pernah digunakan oleh kilang TPPI yang “mogas mode”. Bahkan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk pun tidak bisa menggunakan langsung kondensat dari PT GFI , terkecuali diblending terlebih dahulu dengan kondensat ringan yang mereka import selama ini.
“Jadi sangat  keliru besar misalnya jika Chandra Asri yang dijadikan referensi oleh Ditjen Migas , karena mereka sudah punya kontrak jangka panjang dengan produsen kondensat di Timur Tengah,†ujar dia.
Yusri kembali berkomentar, selama ini  kilang milik Chandra Asri diketahui hanya bisa menerima kondensat dari PT Perta-Samtan Gas (PSG) dan PT Media Karya Sentosa (MKS) yang ada di Gresik.
“Itu pun tidak lebih dari lima persen kebutuhan kilang Chandra Asri yang per harinya membutuhkan pasokan kondensat hingga 40 ribu bph, import mereka bisa mencapai 1.8 juta metric ton (mtn),” katanya.
(Prw)