Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Kenapa organisasi kaum terpelajar Jawa, Budi Utomo, yang didirikan 20 Mei 1908, hanya bertahan 10 tahun, dan vakum sekitar 17 tahun?
Sejarawan Akira Nagazumi di dalam buku “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918”, menyimpulkan, hal itu terjadi karena kaum muda intelek yang menjadi penggerak organisasi ini tidak menginginkan Budi Utomo terjebak di dalam etno-nasionalisme sempit, yang bersifat kesukuan.
Yang mendefinisikan “bangsa” dan kriteria kepemimpinan berdasarkan etnis atau kesukuan belaka. Sehingga berbahaya bagi persatuan.
Dengan kata lain, mereka tidak menginginkan Budi Utomo berciri rasisme.
Setelah vakum sejak 1918 organisasi ini akhirnya melebur menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya) pada 1935.
Sebelum melebur pada 1928 Budi Utomo memperluas azas perjuangannya, yaitu
ikut melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia.
Parindra yang antara lain digagas dr Soetomo merupakan hasil fusi organisasi kedaerahan, yang terdiri dari Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Serikat Betawi, Serikat Ambon, Serikat Minahasa, Sumateranen Bond, dan lainnya.
Misi Parindra ialah memberikan pencerdasan secara politik, ekonomi, dan sosial kepada rakyat, sebagai bekal untuk menjalankan pemerintahan sendiri di masa depan.
Misi lainnya, menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras, pendidikan, dan kedudukan.
Itulah sebabnya para tokoh Parindra yang berasal dari berbagai suku dan agama, termasuk pula para tokoh pergerakan kemerdekaan pada umumnya, mengambil peran sebagai public educator dengan membuang jauh sikap rasis, dan memberikan human moral obligation kepada rakyat.
Tatkala berlangsung Sumpah Pemuda
pertentangan kesukuan dan kriteria kepemimpinan Jawa-Non Jawa tidak terjadi.
Sulit dibayangkan Sumpah Pemuda 1928 dapat terlaksana kalau para tokoh saat itu membatasi diri dengan dikotomi Jawa-Non Jawa.
Kenapa mereka melawan rasisme? Karena bumiputera di era kolonial adalah korban rasisme. Bumiputera ialah Warga Negara Kelas Lima di bawah golongan Eropa, Indo, Timur Jauh, orang-orang China dan Arab.
Para tokoh pergerakan kemerdekaan inilah yang merupakan stormram (generasi pendobrak) rasisme.
Mereka umumnya adalah tokoh-tokoh erudisi (berpengetahuan luas) yang bukan hanya memposisikan diri sebagai pengemban mission sacre (tugas mulia) dalam memerdekakan bangsa, tapi juga sanggup mematahkan teori-teori para ilmuwan kolonial yang merendahkan harga diri bangsa.
Di Den Haag, Belanda, 1925, J.A Latumeten mematahkan teori Dr Van Loon, ahli ilmu jiwa, yang menyebut orang Indonesia bodoh, tak sanggup bertukar pikiran, otaknya primitif, dan tak mampu menerima pendidikan.
Sukarno membantah Profesor Pieter Johannes Veth, antropolog-etnolog terkemuka Belanda, yang berkata, dari zaman purbakala orang Indonesia tak pernah merdeka.
Mohammad Husni Thamrin, di tahun 1930-an, melawan pernyataan Gubernur Jenderal De Jonge, yang mengatakan Belanda masih akan menjajah 300 tahun lagi.
Di masa saat ini, kenapa Luhut Binsar Panjaitan menelan bulat-bulat teori antropolog yang menyebut bahwa berdasarkan fakta antropologis masyarakat Indonesia kini masih berorientasi kesukuan?
Luhut mengatakan, berdasarkan sensus penduduk pada 2010 lalu, mayoritas atau sekitar 40,22 persen masyarakat Indonesia bersuku Jawa. Karena itu dia menyarankan, bagi tokoh yang ingin jadi presiden, tapi bukan bersuku Jawa, sebaiknya melupakan impiannya.
Saat berbincang dengan Rocky Gerung dalam kanal Youtube RGTV channel ID, Rabu, 21 September lalu, Menkomarinves ini mengatakan, tak mungkin tokoh Non-Jawa terpilih jadi presiden, meski beberapa puluh tahun nanti keadaan bisa berubah.
Apa motif Luhut menyampaikan pernyataan yang terkesan menutupi fakta sejarah seperti dicontohkan di bagian atas tulisan ini, bahwa rasisme dan masalah kesukuan seharusnya tidak pantas lagi diwacanakan, karena mindset seperti itu sudah dihapus oleh para pendiri bangsa.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli melalui akun twitter-nya berpendapat:
“Itu pernyataan ngasal. Orang luar Jawa susah jadi presiden karena sistem pemilihan presiden Indonesia tidak kompetitif, oligopolistik, yang sengaja direkayasa untuk menguntungkan boneka oligarki. Kalau sistemnya kompetitif, tidak ada lagi pembelahan Jawa versus Non-Jawa,” tegasnya.
Cara berpikir Luhut rupanya juga mirip-mirip dengan Van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, era 1940-an, penganjur Negara Boneka yang hendak memecah Indonesia berdasarkan kesukuan melalui negara-negara bagian kecil.
Menurut Rizal Ramli di akun Twitter-nya, kini beredar info yang harus dicek lagi kebenarannya, diduga: “Luhut Binsar Panjaitan ingin menjadi King Maker lagi. Sehingga kekuasaan dan kerajaan bisnisnya makin kokoh. Sudah punya calon boneka baru yang orang Jawa, buat jualan politik identitas. Calon boneka tersebut tidak akan didukung oleh Mbak Mega,” tulis Rizal Ramli.
[***]