DI dalam dan di luar rapat yang membahas Blok Masela, sekalangan pejabat Kabinet tampak “memaksa†Presiden Jokowi untuk segera memutuskan pengembangan blok kaya gas tersebut dengan skema Kilang LNG Terapung/FLNG.
‎Para pejabat ini berargumen (senada dengan kontraktor Blok Masela, yaitu Inpex yang menggandeng Shell), bahwa skema Kilang LNG Terapung adalah berbiaya lebih murah dibandingkan Kilang LNG Darat/OLNG, yaitu senilai 14,8 miliar USD untuk Kilang Terapung berbanding 19,3 miliar USD untuk Kilang Darat. Padahal kenyataannya angka-angka itu justru terbalik.
‎Bersumber dari pembangunan Kilang LNG Terapung pertama di Dunia di Blok Prelude-Australia yang akan selesai 2017, yang juga dikerjakan oleh Inpex dan Shell, didapatkan biaya unit cost per MTPA (million ton per annum/juta ton per tahun) adalah 3,5 miliar USD/MTPA.
‎Artinya, untuk Blok Masela yang kapasitas produksi LNG-nya adalah sebesar 7,5 MTPA seharusnya biaya pembangunan Kilang LNG Terapung-nya adalah sekitar 22 miliar USD.
‎Pembanding lain, menurut situs offshoretechnology.com disebutkan, bahwa pengelola Blok Masela akan menginvestasikan 19,6 miliar USD untuk membangun FLNG.
Jadi jelaslah bahwa harga Kilang LNG Terapung, versi sekalangan pejabat Kabinet plus kontraktor, yang hanya 14,8 miliar USD adalah terlalu dikecil-kecilkan!
‎Kemudian, bersumber dari pengalaman insinyur Indonesia yang telah membangun 16 Kilang LNG Darat (plus Kilang Tangguh Train-3 yang masih tahap perencanaan) dan dari kajian “LNG Cost Escalation†di Oxford Institute for Energy Study (2014) didapatkan biaya unit cost per MTPA adalah 1,1-1,2 miliar USD/MTPA.
‎Artinya, untuk Blok Masela yang berkapasitas 7,5 MTPA, nilai Kilang LNG Darat saja adalah sebesar 9,9 miliar USD yang bila ditambahkan dengan biaya fasilitas FPSO (Floating Production Storage and Offloading) dan perpipaan (90 km ke Pulau Selaru) totalnya sekitar 16 miliar USD.
‎Jelas, bahwa harga Kilang LNG Darat, versi sekalangan pejabat Kabinet plus kontraktor, yang mencapai 19,3 miliar USD adalah terlalu dibesar-besarkan!
‎Sebenarnya ada cara untuk membongkar manipulasi angka-angka ini. Bila memang kontraktor Blok Masela, yaitu Inpex, yakin sekali dengan angka 14,8 miliar USD untuk biaya Kilang LNG Terapung, kita tantang saja mereka†apakah berani menanggung (di luar cost recovery) pembengkakan biaya/cost overrun yang mungkin terjadi? Ternyata faktanya kontraktor tidak berani.
Namun, di luar soal biaya, pejabat-pejabat pro Kilang LNG Terapung terus saja berusaha menakut-nakuti Presiden dengan argumen-argumen yang lainnya. Salah satunya, disebutkan bahwa kontraktor Inpex akan menarik diri dari Blok Masela bila ternyata Presiden memutuskan skema Kilang LNG Darat untuk Blok Masela.
‎Hal ini tentu saja sangat tidak mungkin, karena Inpex sudah terlanjur menginvestasikan lebih dari 2 miliar USD untuk eksplorasi bertahun-tahun. Dan bila benar akhirnya Inpex mundur, akan banyak perusahaan lain sejenis dari China dan Korea Selatan, atau bahkan dari Indonesia sendiri (Pertamina) yang bersedia untuk menggantikan.
‎Ketahanan energi Jepang secara strategis memerlukan pasokan dari cadangan besar berjangka panjang seperti Blok Masela.
‎Argumen lain yang juga digunakan untuk menakut-nakuti Presiden adalah tentang deadline keputusan yang tidak boleh melebihi 15 Februari 2016, bila tidak kontraktor (katanya) akan merugi.
‎Hal ini tentu juga terlalu mengada-ada. Karena, dengan turunnya harga minyak mentah dunia, yang juga mengerek turun harga LNG, seharusnya kontraktor diuntungkan bila terjadi perlambatan proyek.
‎Kesimpulannya, sekalangan pejabat Kabinet tampak lebih sibuk menjadi “corong†kontraktor dengan semua angka dan argumen yang tidak dievaluasi secara kritis dan independen.
‎Sungguh tidak pada tempatnya mereka berusaha menakuti-nakuti Presiden Jokowi. Kualitas para pejabat seperti inilah yang menyebabkan Negara kita sangat sulit mengemban amanat Konstitusi, yaitu untuk memanfaatkan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
‎Oleh: Gede Sandra, staf pengajar ekonomi politik Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta