Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Dengan wajah memelas, mimik muka kusut, Jokowi dalam berbagai kesempatan mengeluh atas alokasi subsidi BBM yang mencapai angka Rp502 Triliun. Lalu, dengan berkaca pada Singapura, Thailand dan Jerman, Jokowi berulangkali menyatakan BBM indonesia sangat murah. Ada pesan, ingin meminta permakluman rakyat untuk menaikan harga BBM, dengan dalih ‘harga keekonomian’ dan tekanan APBN gegara subsidi sebesar Rp502 Triliun.
Faktanya, subsidi Rp502 Triliun itu hoax. Menurut Sukamta, anggota DPRI dari fraksi PKS, Subsidi energi tahun 2022 dalam APBN hanya sebesar Rp208,9 triliun. Itu pun sudah meliputi subsidi BBM dan LPG pertamina Rp149,4 triliun, serta subsidi listrik Rp59,6 triliun.
Kalau rakyat yang menyebarkan hoax ini, pasti sudah ditangkap oleh Polisi. Tapi, rezim Jokowi seenaknya mengedarkan hoax subsidi Rp502 triliun.
Pemerintah seharusnya jujur, bahwa yang besar itu bukan subsidi tapi utang. Angka sisanya sebesar Rp343 trilliun untuk membayar utang kompensasi alias utang pemerintah ke Pertamina dan PLN tahun 2022 sebesar Rp234,6 triliun dan utang tahun 2021 sebesar Rp108,4 triliun.
Masih menurut Sukamta, kompensasi ini alasannya untuk mendukung operasional Pertamina dan PLN dalam menyediakan BBM subsidi. Jadi ini subsidi ke Pertamina dan PLN bukan ke rakyat.
Nah, kalau rakyat tahu data seperti ini akan tambah marah BBM dinaikan. Tanpa hoax saja rakyat sudah marah, apalagi diedarkan hoax subsidi BBM untuk rakyat Rp502 Triliun.
Kalau diperhatikan, rakyat saat ini sudah marah. Mereka cenderung tak mau tahu lagi, apapun alasannya rakyat ogah harga BBM naik.
Rakyat sudah bosan dengan alasan alasan yang dibuat-buat. Rakyat capek dituduh membebani APBN, padahal biaya APBN yang didalamnya juga untuk gaji pejabat, dibayar dari pajak rakyat.
Sebaiknya, rakyat siap-siap saja. Kalau rezim Jokowi nekat, rakyat juga berhak nekat. Jokowi nekat naikan BBM, rakyat juga nekat turunkan Jokowi.
Susah sekali menjadi rakyat di negeri ini. Sudah diperas pajaknya, masih pula dituduh membebani APBN. Sementara pejabat, hidup foya-foya dari korupsi.
Ah sudahlah, memang tidak bisa dibandingkan. Pemimpin yang mengurusi dengan yang zalim itu beda. Kalau zalim, kerjaannya cuma cari-cari kesalahan rakyat.
[***]