“PEMERINTAH Hitung Ulang Nilai Aset Negara untuk Jaminan Utang.” Begitu judul satu media daring pekan silam. Berita yang mengutip Dirjen Kekayaan Negara Issa Rachmatarwata itu antara lain menyebutkan, penghitungan ulang (revaluasi aset) akan dilakukan atas 934.409 barang milik negara (BMN). Jumlah tersebut terdiri atas 108.000 bidang tanah, 391.000 jalan, irigasi dan jaringan, serta 434.000 gedung.
Pemerintah terakhir kali menghitung (BMN) 10 tahun lalu. Hasilnya, total nilai aset negara yang ada sebesar Rp229 triliun. Kemenkeu mencatat BMN yang telah diaudit sampai 2016 mencapai Rp2.188 triliun. Artinya, dalam 10 tahun terakhir terjadi kenaikan nilai BMN hampir 10 kali lipat. Harta itu tersebar di 87 Kementerian dan Lembaga (K/L).
Menyimak angka-angka ini, saya jadi teringat beberapa waktu silam Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengatakan kenapa takut utang? Harta kita banyak. Lewat pernyataan yang diajukan dalam bentuk kalimat tanya tadi, dia ingin menepis kekhawatiran banyak kalangan, bahwa Indonesia telah memasuki tahap darurat utang. Maklum, sampai akhir Juli 2017 saja, total utang kita mencapai US$283,72 miliar atau Rp3.780 triliun.
Sekarang, mari kita jejerkan dua angka tersebut. Pertama, nilai aset negara Rp2.188 triliun. Kedua, jumlah utang Indonesia yang Rp3.780 triliun. Sampai di sini, nalar saya mandek. Bagaimana mungkin seorang Menkeu bisa dengan enteng menyatakan tidak usah takut berutang karena harta kita banyak?
Masih tekor
Numpang tanya bu Menteri, harta kita yang mana yang sampeyan maksud? Yang nilainya Rp2.188 triliun itu? Lha, kalau begitu kita masih tekor, dong. Matematika sederhana menemukan, kalau berutang Rp3.780 triliun dengan mengandalkan harta yang cuma Rp2.188 triliun, artinya masih kurang Rp1.592 triliun. Mosok doktor ekonomi jebolan universitas bergengsi luar negeri seperti anda tidak paham hitung-hitungan amat sederhana ini?
Lagi pula, apa Ani, begitu Menkeu biasa disapa, benar-benar yakin bakal menjadikan BMN sebagai agunan berutang? Terus, bagaimana jika ratusan ribu aset negara tadi disita karena kita tidak becus membayar bunga, cicilan, dan pokok utang yang terus menjulang? Pada 2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang ‘cuma’ Rp387 triliun.
Jumlah kewajiban kita terhadap utang tahun depan makin mengerikan saja. Bayangkan, di APBN 2018 dialokasikan Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang. Jumlah tiu diluar Rp247,6 triliun untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun!
Bisakah bu Menteri membayangkan, bagaimana nasib birokrasi kita saat gedung-gedung tempat mereka bekerja tiba-tiba menjadi milik para kreditor? Haruskah mereka keluar dari gedung-gedung itu? Lalu, dimana mereka harus bekerja? Di pematang sawah dan di pinggir jalan yang juga sudah menjadi milik kreditor? Atau, mereka tetap bekerja di gedung yang sama tapi tiap bulan harus membayar sewa, membayar service fee, dan berbagai biaya lain?
Jangan lupa, Ditjen Kekayaan Negara menyebut, berbagai aset itu juga meliputi satusan ribu ruas jalan, saluran irigasi dan jaringan. Lalu, ketika semua itu pada akhirnya menjadi milik kreditor, bagaimana nasib para petani kita? Apakah mereka harus membayar tiap liter air yang mengairi sawah mereka hanya karena air itu melewati saluran irigasi milik kreditor? Lalu, haruskah rakyat membayar biaya untuk tiap ruas jalan yang mereka lalu, walau jalan itu adalah bukan tol? Na’udzu billahi mindzalik (kami berlindung kepada Allah dari hal demikian)!
SDA dikuasai asing
Atau, mungkin harta banyak yang dimaksud jeng Sri itu termaksud sumber daya alam (SDA) yang terkandung di dalam dan di atas permukaan bumi Pertiwi? Tidakkah Ani tahu, bahwa sebagian besar SDA kita sudah menjadi milik asing? Tidak percaya? Lihat bagaimana Freeport menjadikan kandungan emas dan hasil tambang lain di perut bumi Papua sebagai aset yang harus dibayar pemerintah jika ngotot mendivestasi saham mereka hingga 51%. Tidakkah ini aneh? Lha wong Papua itu bagian dari Indonesia? Mosok negara harus membayar barang miliknya sendiri kepada asing? Kegilaan model apalagi yang dipertontonkan para pejabat publik kita?
Masih soal SDA yang dikuasai asing, saya ingin mengingatkan Ani lagi. Bahwa, selama puluhan tahun pemanfaatan kekayaan alam kita hanya menganut prinsip, sedot dan jual. Disedot habis-habisan lalu diekspor dalam bentuk barang mentah. Nyaris tidak ada pengolahan di dalam negeri yang memberi nilai tambah.
Padahal, jika dikembangkan hilirisasi industri dengan sungguh-sungguh dan konsekwen, banyak sekali nilai tambah yang diperoleh. Dari sisi harga, barang jadi dan setengah jadi tentu jauh lebih mahal ketimbang barang mentah. Hilirisasi juga bakal membuka banyak tenaga kerja, menghasilkan aneka pajak, dan yang tidak kalah penting, community development yang amat bermanfaat bagi pendudukan sekitar.
Masih soal hilirisasi ini pula yang menjelaskan, mengapa tambang besar semacam Freeport emoh membangun smelter. Bahwa biaya membangun smelter mahal, memang iya. Tapi, jika selama ini mereka bisa mengangkut barang mentah langsung ke negerinya, kenapa sekarang harus diolah di Indonesia? Bukankah sudah lama terendus, bahan mentah hasil perut bumi Papua tidak menghasilkan emas, perak, dan tembaga semata? Kuat diduga juga ada uranium yang konon harganya 100 kali harga emas dan berbagai mineral berharga lainnya yang selama ini lolos dari pantauan Pemerintah.
Malas dan egois
Berangkat dari logika sederhana seperti ini, saya menjadi sama sekali tidak paham, apa saja yang memenuhi benak Menkeu kita terkait soal utang? Sebagai pembantu Presiden yang bertugas mengelola keuangan negara, kok bisa-bisanya dia sesumbar tidak perlu takut membuat utang baru karena Indonesia punya sumber daya salam yang berlimpah-ruah yang bisa digunakan untuk membayar utang.
Pernyataan seperti ini jelas-jelas amat memprihatinkan. Pertama, ini adalah proklamasi sekaligus undangan dari Menteri Keuangan kepada para majikan asingnya untuk masuk dan menguasai Indonesia dengan cengkeraman kuku yang lebih dalam.
Kedua, getol berutang dengan dalih SDA berlimpah adalah suatu sikap yang sangat tidak beradab dan egois. Ingat. SDA yang kini masih tersisa, bukanlah milik kita, melainkan amanat generasi penerus Indonesia kepada kita yang harus dijaga kelestariannya. Ia adalah anugrah Allah Yang Maha Pemurah untuk dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi.
Ketiga, pernyataan ini sekali lagi menunjukkan Ani adalah tipikal pejabat yang malas dan sama sekali tidak kreatif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi. Modus dari para pejabat pejuang neolib adalah generik belaka. Potong anggaran, genjot pajak, jual BUMN, dan terus tambah utang baru. Titik! Perkara karena semua itu rakyat tidak mendapat apa-apa dan beban hidupnya jadi kian berat itu lain soal. DL- alias derita loe, kata anak-anak muda sekarang.
Akhirnya, saya benar-benar tidak bisa dan tidak berani membayangkan nasib Indonesia ke depan jika perkara ekonomi yang amat penting diserahkan kepada para menteri seperti Ani yang penganut neolib. Kalau Marie Antoinette si Madam Defisit itu membuat kekaisaran Perancis bubar, akankah Indonesia pun bakal tinggal nama kalau ekonomi terus berada dalam genggaman kaum neolib? Astaghfirullah.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)