JUDUL di atas saya pinjam dari Darrell Huff. Buku “Bagaimana Menipu dengan Statistik”, dia tulis 65 tahun lalu.
Banyak orang-orang gelisah karena beberapa TV menyajikan quickcount (QC) dengan hasil yang ditampilkan menonjol di tengah layar, dengan huruf besar Jokowi 54%: Prabowo 44%. Sedikit di atasnya data masuk sudah 70%.
Para ahli survei lalu dengan segala argumen menjelaskan bahwa dengan QC ini maka sudah jelas Jokowi akan presiden lagi.
Saya harus menjelaskan pada masyarakat di Facebook, bahwa itu QC hanya 2000 sampel TPS dari 810.000 TPS. Dalam dunia Big Data dan Internet of Things, apalagi Jokowi bilang sudah 4G di mana-mana, ya sabar sedikit.
Jika sebuah partai seperti PKS yang militan dan punya saksi di daerah-daerah, dalam 1 jam pasti bos mereka di Jakarta sudah punya data. Jadi QC sudah gak penting. Kecuali QC dilakukan oleh Bawaslu yang netral.
Survei Vs Sensus
Kasihan rakyat kebanyakan yang tidak paham apa itu survei dan apa itu sensus. Survei adalah meneliti pada representasi populasi. Representasi itu disebut sampel. Sedangkan sensus, meneliti semua populasi. Istilah saya kemarin real count.
QC adalah survei. Berapa jumlah sample? Untuk jaman now sudah ada kalkulator survei yang menghitung jumlah sampel otomatis terkait dengan margin of error dan confidential level atau tingkat kepercayaan.
Untuk populasi besar, di atas 100.000, sampel minimal 400 atau 440. QC rata-rata sampelnya 2000. Di Amerika, untuk survei, rata-rata sample mereka 600 saja.
Mengapa Survei Bisa Salah?
Kesalahan terbesar perusahan-perusahaan survei raksasa, seperti Pew Research, adalah ketika memprediksi pilpres Amerika. Saya sudah menulisnya dalam survei abal-abal.
Berbagai lembaga survei besar bersama 7 universitas ternama USA plus Kanada mengevaluasi diri, mengapa mereka bisa salah?
Tapi yang paling mendasar bagi awam untuk dimengerti, ilmu matematika itu beda dengan ilmu statistik. Kalau mau pasti, itu ilmunya matematik. Dua tambah dua pasti empat.
Sedang ilmu statistik adalah ilmu perkiraan. Ilmu probability. Meski kita yakin 95% hasilnya pada margin of error, misalnya 2,5%, maka 5% di luar keyakinan kita, bisa menyimpang.
Untuk sebuah negara, setiap periode 10 tahun, umumnya, mereka melakukan sensus penduduk. Di antara waktu itu bisa juga, misalnya, sensus pertanian. Karena mahal, di antara sensus ini dilakukan survei. Dengan sensus data yang ada pasti benar.
Bagaimana Menipu Dengan Statistik
Buku How To Lie With Statistics karangan Hurrell Druff tahun 1954 alias 65 tahun lalu bercerita tentang penggunaan statistik untuk mengelabui masyarakat. Misalnya, angka kemenangan Jokowi vs Prabowo dalam persentase dan dipampang besar di TV, itu bisa menghipnotis.
Padahal itu hanya dari sampel yang kecil saja, yang mungkin kurang dipahami rakyat. Buku itu juga memuat teknik-teknik penggunaan grafik dan chart yang bisa memanipulasi mata, karena visualisasi seringkali menyembunyikan detail.
Buat yang sekolahnya tidak pernah berhubungan dengan survei, saya perlu memberitahu bahwa penipuan yang terbesar adalah memasukkan data yang tidak pernah diukur.
Karena sekolah saya dulu di ITB adalah teknik pengukuran bumi (geodesi dan geomatika), saya dan teman-teman yang bandel suka malas ngukur pake theodolit kalau sudah panas matahari.
Kalau sudah 70% data dari seribuan titik ketinggian kami ukur, maka 30% lagi saya utak-atik aja pake kalkulator (PB-100). Itu disebut ekstrapolasi dan intrapolasi. Sebenarnya, kelakuan-kelakuan salah seperti ini dapat berefek buruk pada sengketa hak tanah. Lebih ngeri lagi, pernah masyarakat transmigrasi di Lampung, pas sampai Lampung, plot tanah yang diberikan di tengah sungai.
Zaman komputer canggih saat ini, manipulasi data dapat dilakukan lebih sophisticated lagi. Setelah saya sekolah doktor ilmu sosial, bagaimana menipu hasil survei sosial?
Dalam ilmu non sosial, penipuan survei bisa dilakukan pada berbagai hal, seperti tadi di atas, menyisipkan data yang tidak di survei. Maupun teknik penyajian data dengan penonjolan (visualisasi) hal-hal tertentu.
Sedangkan dalam ilmu sosial berbagai hal dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Konsep
Survei sosial sangat terkait dengan konsep. Apa arti orang miskin? Apa arti pengangguran? Apa arti pemimpin yang sholeh? Jika motif politik dikesampingkan, konsep pengangguran, kemiskinan dan pemimpin sholeh bisa didefinisikan secara netral. Tapi kalau sudah motif politik, definisi dapat diubah agar sesuai dengan hasil survei yang diinginkan.
2. Cipta Kondisi
Kalau kita mau tahu rakyat puas dengan harga-harga murah, misalnya terong, di suatu wilayah tertentu, sebelum survei kita bisa mendrop terong dalam jumlah besar sehingga harga jatuh. Kemudian kita lakukan survei dengan pertanyaan: “menurut bapak apakah harga terong cukup terjangkau saat ini? ”
3. Menggiring Pertanyaan
Kita juga bisa menggiring pertanyaan dengan berbagai pertanyaan sebelumnya. Jika pilpres dilakukan hari ini, bapak akan memilih X atau Y? Sebelum pertanyaan ini kita bisa men-setting pertanyaan negatif/positif tentang X atau Y, misalnya: apakah anda puas dengan harga terong saat ini?, Berikutnya: seberapa puas anda dengan harga harga terong selama presiden X?
4. Sampling
Survei kuantitatif bagian dari metodologi penelitian kuantitatif. Bicara metodologi kuantitatif intinya membicarakan pembuktian hipotesis. Sedang survei kuantitatif, adalah metode mendapatkan data dengan metode pengambilan sampel secara random. Kalau survei kualitatif, datanya tidak perlu random, bisa secara purposive, yakni berhenti ketika “jenuh”.
Nah, dalam penarikan sampel ini kita bisa melakukan manipulasi. Kita bisa menciptakan “distribusi tidak normal” pada sampel. Dari awal proporsi sampel sudah kita desain untuk lebih banyak yang menghasilkan sesuai survei atau QC kita.
Banyak lagi cara cara menipu dalam survei. Kalau tidak ada niat menipu, maka ukuran akurasi itu ada pada validity and reliability. Kalau anda mengukur darah di apotek cek gula darah, hasilnya 300, padahal belum ada gejala sebelumnya, maka kemungkinan alat ukur bermasalah, harus dikalibrasi ulang. Anda bisa mencari apotik lain.
Saya sudah ajarkan cara cara menipu dalam survei kuantitatif. Apakah anda mau melakukannya? Terserah. Yang pasti seorang direktur lembaga survei besar atau terbesar ketika makan sate dengan berbagai wartawan beberapa waktu lalu, ketika ditanya wartawan-wartawan itu soal survei, dia bilang: “survei yang benar dan benar-benar survei tanyanya jangan ke saya, tapi ke Bang Ganda”.
Ini dulu saya berbagi ilmu. Semoga bermanfaat. Salam.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (SMC)