RAKYAT Indonesia perlu disadarkan, bahwa selama beberapa waktu terakhir patut diduga telah terjadi perbuatan memperkaya korporasi asing yang secara bersamaan merugikan keuangan atau perekonomian negara dengan pelaku Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Perbuatan semacam ini memang sulit dideteksi karena kerumitannya, seperti lazimnya kejahatan kerah putih (ingat Skandal Century). Tapi berikut ini akan coba kita jabarkan.
Bagaimanakah modusnya? Yaitu dengan menetapkan tingkat kupon (current yield) atau bunga dari surat utang (bond) yang terlalu tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yang memiliki peringkat utang (credit rating) yang sama dengan Indonesia, seperti Filipina.
Filipina sangat ideal untuk dijadikan pembanding, benchmark, dalam kasus ini. Credit rating Indonesia dengan Filipina nyaris identik, berdasarkan Moody dan Fitch, kedua negara memiliki rating Baa2 dan BBB.
Hanya Standard & Poor yang memberikan rating Filipina BBB (stable) sedikit lebih baik dari Indonesia BBB- (Stable). Dalam indikator inflasi, Indonesia (2,8%) sedikit lebih baik dari Filipina (3%). Suku bunga masing-masing negara Filipina dan Indonesia tidak diperhitungkan, yang diperhitungkan adalah suku bunga Bank of Japan (BOJ) yang saat ini di -0,1% karena surat utang dalam mata uang yen.
Dan yang paling penting, Filipina juga belum lama menerbitkan surat utang yang menjadi kasus yang kami soroti.
Kasus yang kami soroti adalah penerbitan surat utang negara dalam denominasi (mata uang) yen, biasa disebut Samurai Bond. Kami pilih Samurai Bonds karena beberapa hari lagi di tanggal 22 Mei 2019 pemerintah Indonesia akan kembali menerbitkan surat utang untuk menarik dana sebesar 177 miliar yen (Rp 23,3 triliun).
Para investor surat utang ini berasal dari korporasi perbankan, asuransi, manajemen aset, dan investor pribadi di Jepang. Untuk diketahui, sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani telah dua kali menerbitkan surat utang serupa, pada 31 Mei 2018 dan 8 Juni 2017, dengan jumlah masing-masing sama sebesar 100 miliar yen (Rp 13,2 triliun).
Filipina telah menerbitkan surat utang Samurai Bonds pada 9 Agustus 2018 dengan nilai sebesar 154,2 miliar yen, yang terbagi menjadi:
1. 107 miliar yen memiliki tenor 3 tahun dengan kupon 0,38%
2. 65,2 miliar yen memiliki tenor 5 tahun dengan kupon 0,54%.
3. 40 miliar yen memiliki tenor 10 tahun dengan kupom 0.99%.
Sedangkan rencana Samurai Bonds yang akan diterbitkan Indonesia pada 22 Mei 2019 sebesar 177 miliar yen, terbagi menjadi:
1. 75,7 miliar yen memiliki tenor 3 tahun dengan kupon 0,54%
2. 80,2 miliar yen memiliki tenor 5 tahun dengan kupon 0,83%.
3. 7,6 miliar yen memiliki tenor 10 tahun dengan kupon 1,17%.
4. 4,5 miliar yen memiliki tenor 7 tahun dengan kupon 0,96%.
5. 5 miliar yen memiliki tenor 20 tahun dengan kupon 1,79%
Perhatikan baik-baik. Bandingkan Samurai Bonds milik Filipina dan Indonesia pada tenor yang sama (3 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun), tampak tingkat kupon yang diberikan Indonesia ketinggian 0,16% – 0,29% dari tingkat kupon yang diberikan Filipina.
Memang sekilas, selisih bunga dengan nilai sekian tampak sangat kecil. Tapi setelah kami simulasikan dengan rumus bunga majemuk, pada kondisi yang ada diselisihkan dengan kondisi yang seharusnya (kupon lebih rendah 0,2%-0,3%), ternyata nilai kelebihan bayar utang plus bunganya lumayan besar.
Bila Indonesia dapat memasang tingkat kupon sama dengan Filipina saja, maka dari rencana penerbitan Samurai Bonds tanggal 22 Mei nanti seharusnya Indonesia dapat menyelamatkan uang rakyat sebesar 1,5 miliar yen (Rp 271,1 miliar).
Dengan menggunakan simulasi yang sama, untuk Samurai Bonds yang telah terbit pada 8 Juni 2017 dan 31 Mei 2018, masing-masing seharusnya Indonesia dapat menyelamatkan uang rakyat sebesar 1,43 miliar yen (Rp 189,1 miliar) dan 1,53 miliar yen (Rp 202,9 miliar) dari kelebihan pembayaran bunga.
Bila ditotal, dua Samurai Bonds yang telah terbit dan satu Samurai Bonds yang akan terbit, total uang rakyat Indonesia yang seharusnya dapat diselamatkan adalah (dalam rupiah): Rp 663,4 miliar.
Namun, karena semuanya sudah terlanjur, tidak dapat diselamatkan lagi, maka Rp 663,4 miliar tersebut (sebagian sudah dan sebagiannya akan) memperkaya korporasi-korporasi dan para investor di Jepang dan di sisi lain menjadi kerugian negara.
Perlu diketahui, dari keseluruhan surat utang pemerintah (yang disebut surat berharga negara/SBN), porsi surat utang berdenominasi yen hanyalah bagian kecil saja. Total surat utang yen (belum memasukkan yang akan terbit 22 Mei 2019) adalah sebesar Rp 70,09 triliun dari total surat utang pemerintah (yang dapat diperdagangkan/tradable) Rp 3.513 triliun, atau hanya 1,9% saja.
Sederhananya, bila dari minoritas kecil surat utang yang hanya 1,9% dari nilai saja kita sudah temukan Rp 663,4 miliar, bagaimana dengan sisanya yang mayoritas? Artinya, masih sangat besar kemungkinan terjadinya juga kelebihan pembayaran bunga/kupon pada surat-surat utang berjenis lain.
Kembali lagi, mengapa saya yakin sekali bahwa tingkat kupon Samurai Bonds di era Menkeu Sri Mulyani ini ketinggian?
Ternyata di masa lalu, sekitar 7 tahun lalu di masa Menkeu Agus Martowardoyo, Indonesia pernah juga menerbitkan surat utang dalam yen dengan kupon yang lebih rendah dalam tenor yang sama.
Masih tercatat di data Outstanding SBN (17 Mei 2019), pada 22 November 2012, Menkeu Agus Martowardoyo menerbitkan surat utang sebesar 60 miliar yen dengan tenor 10 tahun dan tingkat kupon 1,13%. Bandingkan dengan Samurai Bonds tenor 10 tahun saat ini yang tingkat kuponnya 1,17%, lebih tinggi.
Padahal di tahun 2012 suku bunga Bank of Japan masih positif 0,1% (tidak seperti saat ini yang minus 0,1%) dan credit rating Indonesia dari lembaga-lembaga pemeringkat tidak sebagus saat ini.
Pada tahun 2012 juga, rating untuk Indonesia dari Standard&Poors hanya BB+ (positif), Fitch BBB- (stable), dan Moody Baa3 (stable). Tingkat inflasi tahun 2012 yang sebesar 4,3% juga lebih tinggi dari saat ini. Suku bunga BI (bila ada yang memaksa untuk dibandingkan) tahun 2012 dan saat ini sama-sama 6%.
Dalam kondisi yang relatif lebih buruk di tahun 2012, Menkeu Agus Martowardoyo sanggup menetapkan tingkat kupon yang lebih rendah dari yang ditetapkan Menkeu Sri Mulyani di tahun 2019.
Pelajarannya: Menkeu Agus Martowardoyo lebih pelit kepada investor asing, Menkeu Sri Mulyani sebaliknya, terlalu royal kepada asing (tapi pelit kepada rakyat sendiri, terbukti dari berbagai kebijakan austerity/pengetatan yang dilancarkannya sejak Kabinet).
Tapi ini bukan perkara siapa yang royal dan siapa yang pelit kepada siapa. Saya memandangnya sebagai perkara korupsi kebijakan, terutama setelah seorang pakar hukum mengingatkan saya akan keberadaan pasal di bawah:
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat