Artikel ini ditulis oleh Tulus Budi Karso, pemerhati sosial politik.
Suara Megawati itu tidak saja lantang, tapi juga menusuk. Yang kita pilih dalam Pemilu, kata Mega, bukan Perdana Menteri tetapi Presiden. Oleh karena kita menganut sistem presidensial. Bukan parlementer.
Di hadapan para kader dalam acara Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan, yang juga dihadiri Presiden Joko Widodo, Selasa 21 Juni di Jakarta, Mega bilang, “Tidak ada koalisi-koalisi. Kalau kerja sama, yes.”
Diangkut oleh hampir semua media nasional menjadi berita utama, pernyataan Megawati itu dipuji oleh banyak tokoh.
Ada yang menyebut bahwa pidato Megawati itu selurus dengan garis konstitusi. Sesuai dengan prinsip ketatanegaraan kita.
Ada pula yang menilai Mega sedang menyentil sejumlah pihak yang belakangan begitu sibuk mencari jodoh ke sana ke mari.
Mantan Menko Perekonomian pada masa Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, dalam cuitannya pada hari yang sama menyahut begini, ”Soal koalisi Mbak Mega benar.” Pidato itu tegas. Lugas, sekaligus nendang.
Tapi Rizal memberi catatan bahwa bila hari ini petinggi parpol kita wara-wiri menjalin koalisi, itu karena ambang batas minimal pencalonan presiden, yang dalam jagat politik kita lebih dikenal dengan sebutan bahasa Inggrisnya: presidential threshold.
Dan kita semua tahu, syarat minimal itu adalah 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen dukungan dari suara sah nasional pada Pemilu 2019. Lantaran sebentar lagi pemilu, sibuklah para petinggi partai kita menghitung angka. Bertemu, jalin koalisi.
Kenapa ambang batas itu perlu dan mengapa pula angkanya sebesar itu? Begini argumentasi para pendukung presidential threshold itu. Dua puluh persen itu adalah modal minimal agar pemerintahan berjalan stabil.
Oleh karena punya kekuatan yang cukup di perwakilan. Tidak mudah dirongrong. Oleh kekuatan politik manapun. Dan agar semua program berjalan lancar.
Bila menolak jalan pikiran ini, silahkan menggugat ketentuan presidential threshold itu ke Mahkamah Konstitusi.
Semua isi kepala kita dan terutama kaum cerdik pandai, kemudian memaku pada pasal 222 dalam Undang-undang Pemilu, dasar hukum dari ketentuan ambang batas pemilihan presiden itu.
Diskusi tentang ketentuan calon presiden kemudian terkurung dalam sangkar legalitas belaka, dan bukan pada upaya mencari cara terbaik untuk proses rekrutmen mencari calon pemimpin.
Padahal, kata Rizal, argumentasi yang mendasari ambang batas itu, berkali-kali dibantah oleh pengalaman kita sendiri.
Bahwa “banyak jalan menuju Roma.” Bahwa koalisi sejatinya bisa dibangun setelah presiden terpilih. Bahkan, meski menjadi rival dalam perebutan kursi Presiden, Joko Widodo mau dan bisa mengajak Prabowo Subianto masuk pemerintahan.
Hingga kini mereka terlihat akur, dan pemerintahan stabil.
Syarat 20 persen itu kuat karena punya legitimasi hukum, tapi kata Rizal, lemah dari sisi “legitimasi demokratis.”
Jumlah calon amat sangat terbatas, hanya ditentukan oleh partai dan itu pun dengan ketentuan 20 persen itu.
Ketentuan itu juga mengandung kelemahan karena pemilu legislatif pada lima tahun yang lalu, dijadikan syarat untuk memilih Presiden hari ini.
Lemah, karena selalu ada kemungkinan, bahwa mereka yang memilih sebuah partai pada lima tahun lalu itu, belum tentu setuju, bahkan mungkin menolak keras calon presiden yang diusung oleh partai itu pada hari ini.
Kelemahan legitimasi inilah yang terekam dalam angka sejumlah lembaga survei. Pemilih Partai A pada Pemilu 2019 yang hari ini mengusung kandidat B, justru memilih kandidat C yang diusung partai D.
Jadi, memakai modal lima tahun lalu itu, untuk mengusung calon presiden pada hari ini, jelas mengandung kelemahan legitimasi.
Argumentasi bahwa syarat minimal 20 persen itu akan memberi kenyamanan bagi pemerintahan yang baru sepintas terlihat terang, tapi dia menyembunyikan sisi gelap yang mungkin bisa timbul.
Dan persis sisi gelap itulah yang dicemaskan oleh Rizal Ramli dan sejumlah kawannya, sekian tahun belakangan ini.
Rizal, yang semenjak muda sudah menjadi aktivis, terlatih kritis menelaah aneka kebijakan, meraih gelar doktor dalam bidang ekonomi, bertahun-tahun melakukan penelitian tentang kebijakan ekonomi serta kemungkinan perselingkuhannya dengan politik, dan pernah pula di pemerintahan, memahami betul bagaimana politik yang sejatinya demi bonum commune itu, jika diseret ke arena yang transaksional, itu adalah pintu masuk para oligarki politik dan bisnis mengendalikan kebijakan.
Ambang batas 20 persen itu, kata Rizal, mendorong politik menjauh dari bonum commune itu, dan berkemungkinan menyeretnya ke arena transaksional.
Dan pada arena yang penuh transaksional itu, orang-orang hebat, orang-orang bersih, tapi tak punya modal untuk negosiasi, nyaris tak punya peluang.
Proses di hulu yang serba transaksional ini, plus biaya politik yang aduhai mahalnya selama masa kampanye, tidak saja menyebabkan politik kita berat diongkos, tapi juga seperti menaruh beban di pundak Presiden, bahkan ketika dia baru menjadi sekedar calon.
Dari hulunya, kata Rizal, politik kita membuat presiden tidak saja memikul utang budi, tapi bahkan mungkin utang materi. Dan sungguh sulit dipercaya bahwa di kemudian hari seluruh kebijakannya bebas dari beban itu.
Dari sekian banyak tokoh nasional kita, barangkali Rizal lah yang paling terbuka dan konsisten, tentu dengan caranya sendiri, kepada kita mengingatkan bahaya bila bisnis dan kekuasaan menumpuk di satu tangan.
Penguasa merangkap pengusaha. Yang dia sebut sebagai peng peng. Sebab, di tangan orang-orang seperti ini, selalu ada kemungkinan terjadinya, apa yang disebut Rizal sebagai “bisnis kekuasaan.”
Dari dialah kita memahami bahaya oligarki dalam wujud yang paling telanjang, terutama karena cara dia menyampaikannya, tanpa tedeng aling-aling dan dalam bahasa yang mudah dipahami.
Rizal adalah ramuan dari sekian hal yang diperlukan untuk berkata lantang. Kekuatan analisa, jaringan informasi yang mumpuni, keberpihakannya kepada kepentingan rakyat, dan keberanian seorang aktivis untuk mengambil resiko demi apa yang diyakininya benar.
Multiple barriers to entry dalam politik kita, kata Riza, begitu banyak, pintu masuk jadi sempit.
Di satu sisi tujuannya agar selektif, tapi punya kemungkinan terjatuh dalam kepentingan orang-orang yang disebut Rizal sebagai para oligarki.
Lantaran mereka punya kekuatan untuk mengantongi tiket masuk, untuk mereka sendiri atau untuk orang yang mereka sokong.
Bila kekuasaan dikendalikan para oligarki, mereka tidak hanya mendapat keuntungan dari proyek pemerintah, tetapi juga panen dari apa yang disebut Rizal sebagai “keuntungan kebijakan,” seperti perpanjangan konsesi lewat Undang-undang, pengurangan atau penghapusan royalti, yang seringkali tidak disadari oleh rakyat, pun oleh media massa yang tugas utamanya adalah berbakti kepada kepentingan publik.
Jika Rizal, sejumlah tokoh, dan sejumlah kelompok memperjuangkan penghapusan syarat 20 persen itu, tentu bukan karena dia sendiri didorong sejumlah kalangan menjadi calon presiden, tetapi seperti kata Rizal sendiri: demi menghindarkan negara dari jebakan politik transaksional, agar presiden yang terpilih senantiasa ingat bahwa kekuatan terbesar dia adalah rakyat yang memilihnya, bukan dari partai pengusung dan kekuatan modal yang bisa membelenggu di kemudian hari.
Dan, juga seperti kata Rizal Ramli sendiri, penghapusan syarat itu perlu diupayakan agar tempat terhormat dalam ingatan generasi muda kita dari Pemilu adalah tentang kesamaaan peluang serta kebaikan bersama, dan bukan tentang dua puluh persen yang jika diucapkan mungkin akan terdengar seperti angka dari ruang transaksi.
[***]