KedaiPena.com – Upaya untuk memperbaiki sistem pemilihan presiden Indonesia tidak konsisten. Karena ingin mengadakan pemilu serentak untuk melepaskan kekangan pada capres tapi tetap mengusung Presidential Threshold 20 Persen. Akhirnya, upaya memperbaiki desain hukum politik, sama sekali tak tercapai.
Anggota Dewan Penasihat Perludem, Titi Anggraini menyebutkan rumor Partai Politik menerima mahar politik untuk meloloskan calon tertentu, juga bergulir pada Pemilu 2019.
“Waktu itu menguap begitu saja. Memang tidak mudah untuk membuktikan dugaan penyuapan seperti itu. Dan tak hanya di tingkat nasional, bahkan di tingkat pilkada pun, kasus mahar politik ini tidak pernah terungkap,” kata Titi dalam acara diskusi, Minggu (20/11/2022).
Contoh kasus, saat Pilkada Jawa Timur yang dirumorkan melibatkan dana Rp45 miliar untuk salah seorang calon gubernur.
“Memang desain hukum Pemilu kita itu membuat susah pembuktian pada dugaan praktik seperti ini. Tidak pernah sampai pada penuntasan,” ucapnya.
Desain hukum politik seperti ini, lanjutnya, timbul sebagai akibat penghindaran pada koherensi dan konsistensi dalam mencapai tujuan sistem politik, yang akhirnya menimbulkan anomali-anomali.
“Pemilihan sistem Pemilu serentak adalah upaya untuk menata sistem pemerintahan kita, di tengah sistem presidensil yang seakan-akan membuat presiden terpilih, tersandera oleh kekuatan parlemen yang menyebar,” ucapnya.
Tapi, upaya ini tidak diikuti oleh konsistensi, sehingga menyebabkan anomali.
“Ini akibat dari tetap dipertahankannya ambang batas pencalonan capres dan cawapres atau Presidential Threshold, yang mengatur presiden hanya boleh diajukan oleh kelompok partai politik atau partai politik yang memiliki 20 persen pada Pemilu sebelumnya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa