Artikel ini ditulis oleh Agus Jabo Priyono, Ketua Umum PRIMA.
Kita semua tentu terkejut dengan kejadian yang sangat tiba-tiba di stadion Kanjuruhan, rasa sedih yang teramat mendalam, marah, kesal, semua bercampur aduk jadi satu. Betapa mudahnya nyawa saudara-saudara kita melayang, tragedi ini akan terus menghantui dan menjadi sejarah paling kelam dalam persepakbolaan nasional, bahkan mungkin juga dunia. Tragedi Kanjuruhan ini adalah puncak gunung es, akumulusi dari masalah kebangsaan, lebih khusus adanya dekadensi kepribadian bangsa yang jatuh ke titik nadir. Hati kita semua serasa teriris sembilu, pedih teramat perih.
Sebelumnya ada kasus Sambo, ada penangkapan rektor perguruan tinggi, ada penangkapan bendahara ormas keagamaan terbesar dan baru saja ada penangkapan salah satu hakim agung oleh KPK.
Empat institusi tadi adalah lembaga yang mengatur moral masyarakat. Sedemikian akut kerusakan kultur dan struktur bangsa dan negara. Kerusakan kepribadian bangsa.
Ini semua menunjukkan ada yang tidak beres dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama rusaknya kepribadian bangsa. Hitam putihnya kepribadian bangsa sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi dan politik, dalam sistem yang baik, akan menghasilkan kepribadian bangsa yang luhur, begitu juga sebaliknya, dalam sistem yang brengsek, akan melahirkan kepribadian yang brengsek pula.
Kita sudah sepakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini landasannya adalah Pancasila, dengan selalu dan terus menerus memegang teguh nilai-nilai luhur, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dan Keadilan Sosial.
Namun sekarang ini nilai-nilai tersebut hilang, sirna. Sirna ilang kertaning bumi.
Akar persoalan rusaknya kepribadian bangsa, kehidupan berbangsa dan bernegara adalah ketika uang dan kekayaan dijadikan sebagai sumber daya untuk menguasai kehidupan ekonomi, politik dan sosial.
Reformasi 1998 dengan agenda demokrasi, kesejahteraan sosial dan pemerintahan bersih, yang kita harapkan mengubah sistem ekonomi, politik dan sosial, justru terjerumus ke lembah dekadensi. Alam liberal menjadi sumber segala persoalan, siapa yang kapitalnya kuat, dialah yang berkuasa.
Pasca reformasi tidak ada perubahan struktur ekonomi, alam liberal hasil reformasi telah melahirkan satu kelompok kecil masyarakat yang sangat kuat dan berkuasa penuh, dengan menguasai sumber ekonomi. Segelintir orang penguasa sumber ekonomi ini dengan kekuatan uangnya kemudian mempengaruhi serta meguasai lembaga politik, akibatnya aturan dan UU yang berlaku, cenderung membela kepentingan orang-orang superkaya ini.
Segelintir orang super kaya inilah yang kemudian kita kenal dengan oligarki.
Dari hasil laporan World Inequality Lab 2022, dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan.
Laporan itu mencatat, selama periode 2001-2021 sebanyak 50 persen penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5 persen kekayaan rumah tangga nasional. Sedangkan 10 persen penduduk lainnya memiliki sekitar 60 persen kekayaan rumah tangga nasional.
Sumber daya seperti emas, gas, batubara, nikel, sawit dan lain-lain bukan dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tetapi hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Situasi ini menimbulkan kesenjangan, kekecewaan dan keresahan umum.
Situasi semakin sulit ketika dunia dilanda pandemi Covid19 dan krisis ekonomi, situasi belum normal, sudah dihadang oleh kenaikan harga-harga seperti minyak goreng dan BBM.
Keresahan umum ini kemudian semakin manifes, ketika dihadapi oleh mobilisasi buzzer, penegakkan hukum yang tidak adil dan alat kekerasan.
Sebelum terlambat, sebelum Pemilu 2024, harus ada koreksi total terhadap konsep, sistem, struktur berbangsa dan bernegara, dengan jalan konsensus, mempertemukan unsur-unsur pempinan negara dengan unsur-unsur masyarakat untuk merumuskan haluan baru, kembali ke jati diri bangsa, dengan landasan Preambule UUD 1945.
Jika tidak, Pemilu 2024 hanya akan menjadi ritual pergantian komposisi dan susuanan kekuasaan, tanpa mengubah apapun yang menjadi akar persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu struktur ekonomi dan politik yang hanya dikuasai segelintir orang, yang bertentangan dengan tujuan dan dasar negara yang termaktub dalam Preambule UUD 1945.
Tujuan utama konsensus tersebut adalah terwujudnya keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia, agar terbentuk kepribadian bangsa yang luhur, sesuai dengan nilai Pancasila. Jika tidak, maka peristiwa demi peristiwa yang memilukan, akan terus bermunculan dan kehidupan kita akan masuk ke dalam era Sirna Ilang Kertaning Bumi.
Salam Rakyat Adil Makmur
Menangkan Pancasila
[***]