Artikel ini ditulis oleh Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika Multimedia AI & OCB Independen.
Saat tulisan ini dibuat, Rabu 13/03/24, sudah seminggu lebih tampilan SIREKAP “black-out”, tidak berisi data-data rinci hasil rekap maupun grafik sebagaimana yang dijanjikan seharusnya oleh sistem yang berharga miliaran rupiah uang rakyat tersebut. Kini SIREKAP tak ubahnya hanya seperti Google Form yang bisanya hanya menampilkan Data Pasif berupa Foto hasil Capture C-Hasil yang diunggah oleh Para KPPS ke Situs KPU saja. Memalukan.
Ya, memalukan, bahkan teramat sangat amat memalukan, karena seharusnya Situs IT KPU yang menjadi kebanggaan nasional berbiaya mahal tersebut seharusnya bisa menampilkan kecanggihan Teknologi Karya Anak Bangsa, apalagi disebut-sebut buah karya kampus yang menjadi kebanggaan Teknologi Indonesia, tempat Presiden Pertama RI, Bung Karno, dulu pernah mengenyam pendidikan disana.
THS, Technische Hoogeschool te Bandoeng adalah nama awal kampus ternama yang berdiri semenjak 3 Juli 1920, yang semenjak 2 Maret 1959 resmi menggunakan nama ITB, Institut Teknologi Bandung. Nama ITB kini kerap disebut-sebut berada dibalik MoU dengan KPU. Memang tidak salah, MoU SIREKAP diteken 2,5 tahun lalu, tepatnya tanggal 1 Oktober 2021 antara Rektor ITB (Prof Ir RW Ph.D) dan Komisioner KPU saat itu IS. MoU bernomor 16/PR.07/01/2021 sekaligus 034/IT1.A/KS.00/2021 kini ramai diperbincangkan di berbagai kalangan.
Bagaimana tidak, MoU yang awalnya bertujuan sangat mulia dan saya pun percaya sampai dengan sekarang, InsyaaAllah kepercayaan ini tidak dikhianati oleh keadaan, secara Institusi ITB tidak terlibat, namun memang ada oknum (baik didalam ITB maupun KPU) yang memberikan peluang menjadi dimungkinkannya kasus-kasus yang sebelumnya terjadi, dengan memberi peluang “backdoor” secara teknis di SIREKAP yang membuatnya disalahgunakan.
Saya tidak perlu lagi mengulangi disini berapa banyaknya kebodohan atau kekonyolan yang sudah terjadi di SIREKAP selama ini, mulai dari OCR (Optical Character Recognizer) dan OMR (Optical Mark Reader) yang bisa (dibuat) salah baca hingga menambah angka secara otomatis dengan Auto Algorithm, adanya Json-Script yang disebut-sebut bisa “mengunci angka” di kisaran tertentu, hingga meroketnya perolehan angka partai tertentu disaat Volatilitas atau Tren statistik sudah seharusnya melandai.
Hari ini bahkan di sidang lanjutan sengketa informasi antara Yayasan Advokasi Hak Konstitusional (YAKIN) dan KPU di Kantor Komisi Informasi Pusat (KIP) Jakarta, diakui fakta yang selama ini ditutup-tutupi (baca: Kebohongan Publik telah terjadi), yakni adanya kontrak pengadaan yang dilakukan KPU dengan Alibaba. Itu disampaikan pihak KPU, diwakili LH, saat menjawab pertanyaan Ketua Majelis Komisi Syawaludin. Hal ini sekaligus telah menjawab (kebohongan) yang selama ini dikatakan oleh Komisioer-komisioner KPU, BEI atau Ketua KPU, HA beberapa waktu silam, yang saat itu tidak mau mengakui bahwa SIREKAP menggunakan Cloud milik Asing, Aliyun Computing Ltd Alibaba tersebut.
Namun meski demikian, KPU masih saja belagu untuk tidak berterus-terang dan membuka perjanjian dengan Alibaba tersebut, dengan alasan “kerahasiaan” dan takut diretas (?). Padahal Peraturan Komisi Informasi Nomor 1/2021 menyebutkan dengan jelas bahwa pengadaan barang dan jasa merupakan informasi yang terbuka serta wajib sifatnya untuk diumumkan secara berkala, sebagaimana disampaikan Anggota Majelis Komisi Rospita Vici Paulyn. Sungguh sebuah hal yang tidak elok, ibarat (maaf) maling yang sudah ketahuan pun tidak mau mengaku bahwa Statemen KPU selama ini telah jauh dari fakta dan kebenaran yang ada.
Senada dengan hal tersebut, Ketua YAKIN, Ted Hilbert mengaku tidak puas dengan jawaban KPU yang dinilainya irasional. Jika khawatir jika dibuka datanya bakal diretas, Ted mengatakan KPU boleh saja menutup informasi terkait keamanan siber yang sensitif saat memberikan dokumen kontrak pengadaan dengan Alibaba. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa lokasi server KPU penting untuk diketahui di tengah kontroversi yang timbul di masyarakat, sebagaimana selama ini sudah terkonang (baca: ketahuan) di luar negeri dan hal tersebut melanggar Peraturan Perundang2an yg berlaku (UU No. 27/2022 ttg PDP dan UU No. 14/2008 ttg KIP).
Oleh karenanya pula sudah wajar bilamana sekarang malahan muncul Surat Pernyataan Sikap dari Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) tertanggal 13 Maret 2024 yang ditandatangani oleh Pengurus Pusat IA-ITB Akhmad Syarbini (Ketua Umum) & Hairul Anas Syuhaidi (Sekretaris Jendral), yang intinya mendesak agar Rektor ITB memberikan klarifikasi atas carut marutnya SIREKAP, mendesak melakukan audit sebagai tanggungjawab intelektual dan mengembalikan marwah ITB dalam dunia akademik dan nasional. Surat Pernyataan IA-ITB ini harusnya sudah bisa jadi tamparan yang sangat keras bagi Civitas Akademika Kampus Bandung tersebut, karena bagaimanapun juga citra dan nama baiknya jadi ikut tercoreng gara-gara SIREKAP.
Belum lagi jika melihat apa yang dilakukan juga oleh Keluarga Alumni Penegak Pancasila Anti Komunis ITB (KAPPAK ITB) yang melaporkan Rektor ITB pada hari yang sama, hari ini Rabu 13/03/24, dimana KAPPAK-ITB terpanggil untuk membantu Kampus Ganesha tersebut dalam keterlibatan yang menimbulkan kegoncangan nasional. Hal ini terjadi setelah beraudiensi kepada Rektorat ITB utk meminta klarifikasi, namun tanggal 5 Maret 2024 KAPPAK ITB menerima surat jawaban diminta untuk hanya menanyakan ke KPU. Oleh karenanya ITB sebagai badan publik telah melanggar UU No 14/2008 Pasal 2 ayat (1), sebagaimana diatur Pasal 6 UU KIP. Rakyat berhak tahu dalam rangka partisipasi publik demi penegakan kebenaran, kejujuran dan keadilan khususnya Pemilu 2024.
Kesimpulannya, judul diatas tidak mengada-ada, SIREKAP tidak hanya membuyarkan Pemilu 2024 tetapi sekaligus juga membuat citra kampus ternama di Bandung tersebut ambyar. Karena jangankan Civitas Akademika Ganesha terdengar membuat Gerakan Moral seperti UGM kemarin (12/03/24) dan UI besok (14/03/24), karena sekarang secara internal sudah ada setidaknya IA-ITB dan KAPPAK yang mempersoalkannya, belum lagi kalau nanti YAKIN juga berimbas (dari KPU ke ITB). Akankah juga kalau melihat Proses dalam SIREKAP-nya saja sudah begini, apakah Hasil Perhitungan Manual Berjenjang-nya juga masih dipercaya oleh masyarakat? Analogi ini sama dengan Keputusan (yang cacat) MK 90 dan KPU yang menerima bocah di bawah umur meski PKPU-nya belum disahkan DPR itu. Ambyar.
[***]