SOEHARTO yang oleh OG Roeder dikatakan sebagai The Smiling General ternyata adalah seorang angry man, seorang vengeful, pemarah dan pendendam.
OG Roeder, penulis pertama biografi Soeharto, The Smiling General. Kisah hidupnya penuh misteri, diduga bekas intel SS-Nazi Jerman, mengaku sosiolog dan wartawan yang masuk Indonesia awal 1960-an.
Waktu Rosihan Anwar dituduh terlibat Malari ’74, koran miliknya, Pedoman, dibredel. Saking marah Soeharto kepada menteri penerangan waktu itu memerintahkan, ‘’Pedoman, pateni wae’’.
Waktu sakit parah di RS Pertamina, Soeharto menolak murid kesayangannya, BJ Habibie, yang mau datang membesuk dari Jerman. Harto rupanya tak sudi sebab wapresnya itu dituduhnya ikut bermain dalam proses kejatuhan kekuasaannya.
Soeharto menolak kondangan kalau di acara ada AH Nasution atau Ali Sadikin (dan anggota Petisi 50 lainnya).
Pernah suatu kali Pak Nas yang sudah diambang pintu diusir oleh para intel, diminta menunggu sampai Soeharto dan nyonya selesai menghadiri resepsi.
Di balik senyumnya yang bagaikan Monalisa Soeharto memang pandai menyembunyikan maksud dan apa-apa yang tersirat. Walaupun semua tau dia seorang rajatega…
Kalau kata orang politik punya seribu wajah seperti Dasamuka, Soeharto cukup punya satu roman muka, dan dari senyumnya itu terjadilah Petrus, yang membungkus preman dan bromocorah jadi mayat dalam karung, peristiwa Priok, Kedung Ombo, –- dan seterusnya.
Bagaimana Presiden Jokowi?
Kalau Soeharto tidak pernah kedengaran memarah-marahi menteri, karena pers waktu itu dibungkam, Presiden Jokowi secara terang-terangan berani memarah-marahi menteri. Yakni Mendag Enggartiasto Lukito, yang beberapa waktu lalu mau impor 500.000 ton beras dari Thailand dan Vietnam.
Enggar dimarahi lantaran ekspor kita mengalami semacam lemah syahwat, tiada gairah sama sekali.
Kalah dari Vietnam yang ekspornya menghasilkan pemasukan mencapai US$160 miliar, Thailand US$231 miliar, dan Malaysia US$184 miliar. Sedangkan Indonesia cuma US$145 miliar.
Dalam konteks ‘’marah’’ ini apa beda Soeharto dengan Presiden Jokowi?
Soeharto tidak pernah mengekspresikan kemarahan, tetapi berjiwa SADISTIS. Kekuasaannya naik dengan mengorbankan darah dan nyawa rakyat, dan dengan dua hal itu pula dia melanggengkan/menjaga kekuasaan selama 32 tahun.
Dengan kata lain, bagi Soeharto marah-marah itu tidak penting, yang penting adalah menjatuhkan hukuman/eksekusi.
Sementara itu Presiden Jokowi yang selama ini dikenal merupakan figur empatik, friendly dengan pola komunikasi model blusukan yang dekat dengan rakyat sangat jauh dari kesan emosional, kesan pemarah atau kesan pendendam.
Marahnya Jokowi adalah sungguh menggugah perhatian, meski yang ditunggu masyarakat sebenarnya adalah Ketegasan Presiden Jokowi terhadap menteri yang tidak berprestasi dan tidak punya reputasi seperti Enggartiasto Lukito.
Marah dan tegas adalah dua hal yang berbeda. Banyak orang tegas tapi tidak pemarah. Banyak orang pemarah tapi seringkali tidak tegas. Kita tentu tidak ingin marah hanya untuk menutupi ketidaktegasan.
Rakyat luas yang merindukan adanya perbaikan perekonomian dan bangsa ini yang menantikan adanya kemajuan berupa pertumbuhan perekonomian yang optimal untuk mengejar berbagai ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain tentu sudah tidak bisa lagi mengharapkan kinerja menteri-menteri seperti Enggartiasto, Sri Mulyani, Rini Sumarno, dan Darmin, yang bukan saja sudah terbukti banyak membuat kebijakan blunder, jauh dari berpihak kepada rakyat, tetapi juga menggerogoti elektabilitas Presiden Jokowi, terutama menjelang Pilpres tahun depan.
Menteri-menteri demikian adalah laksana duri dalam daging, yang harus segera dicabut supaya tidak menjadi infeksi penyebab beredarnya racun dalam darah. Ketegasan adalah kata kunci yang ditunggu-tunggu masyarakat luas dari Presiden Joko Widodo untuk mencopot menteri-menteri tersebut dari kabinet. Demi rakyat yang menaruh ekspektasi yang sedemikian besar kepada Presiden Jokowi, dan juga demi elektabilitas Presiden Jokowi sendiri, demi untuk kembali mendapatkan kepercayaan rakyat di periode kedua mendatang.
Selanjutnya biarlah para menteri tersebut masuk dalam timbunannya footnote sejarah ala kadarnya. Tanpa legacy.
Oleh: Arief Gunawan, Wartawan Senior