KedaiPena.Com- Anggota Komisi VI Dewan DPR RI Nevi Zuairina meminta, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pimpinan Erick Thohir dapat melakukan kajian secara matang terkait rencana merger maskapai penerbangan yakni PT Garuda Indonesia (Persero), Citilink dan Pelita Air atau perusahaan pelat merah aviasi.
Nevi begitu sapaanya mengingatkan keuangan Garuda Indonesia saat ini masih belum membaik lantaran masih dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU. Belum lagi, lanjut Nevi, nasib Citilink dan Pelita Air saat ini juga belum terlalu baik.
“Sehingga langkah merger harus benar-benar dikaji secara matang, jangan sampai bukannya menyelamatkan Garuda Indonesia tapi malah membuat Citilink dan Palita Air menjadi sekarat,” kata Politikus PKS ini, Sabtu,(2/9/2023).
Nevi juga meyakini bahwa merger dengan Citylink dan Pelita Air tak akan mampu menyelesaikan persoalan yang ada di Garuda Indonesia sampai ke akar-akarnya bahkan bisa menimbulkan masalah baru. Nevi menegaskan, bahwa Garuda Indonesia saat ini tengah berada dalam status PKPU sementara.
“Dalam kondisi PKPU sementara tersebut bisa saja kreditur merasa keberatan jika Garuda Indonesia melakukan penyimpangan terhadap rencana bisnisnya, sehingga berpotensi PKPU dapat dicabut,” jelas Nevi.
Nevi kemudian menambahkan, penyelamatan Garuda Indonesia harus dimulai dengan keseriusan dalam penerapan good corporate governance secara baik dan konsisten. Hal ini, lanjut Nevi, perlu dilakukan dalam rangka menjamin kelangsungan perusahaan maskapai penerbangan itu secara berkelanjutan.
“Kemudian Garuda Indonesia supaya konsisten melaksanakan implementasi business plan yang telah disepakati, jangan sampai tidak konsistennya Garuda Indonesia dalam mengimplementasikan business plan membuat para investor tidak berminat melakukan investasi, dan kreditur yang menyetujui PKPU berpikir ulang untuk mengajukan permohonan pencabutan PKPU,” beber Nevi.
Meski demikian, Legislator asal Sumatera Barat ini, memahami bahwa saat ini Indonesia
masih kekurangan sekitar 200 pesawat. Perhitungan itu, lanjut Nevi, diperoleh dari perbandingan antara Amerika Serikat dan Indonesia.
“Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, terdapat 7.200 pesawat yang melayani rute domestik. Dimana terdapat 300 juta populasi yang rata-rata GDP (pendapatan per kapita) mencapai US$ 40 ribu. Sementara di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki GDP US$ 4.700. Itu berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat. Padahal sekarang, Indonesia baru memiliki 550 pesawat,” pungkas Nevi.
Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menegaskan rencana penggabungan atau merger antara 3 maskapai penerbangan milik negara bukan untuk menyelamatkan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).
Staf Khusus III Menteri BUMN, Arya Sinulingga menyatakan bahwa rencana merger ini bertujuan agar ada konsolidasi antara ketiga perusahaan maskapai milik negara tersebut.
Sehingga, Kementerian BUMN terfokus hanya pada satu perusahaan saja untuk sektor transportasi udara.
Laporan: Tim Kedai Pena