Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SUATU hari di ujung tahun 1970-an Ali Sadikin mengkritik Undang-Undang Pemilu dengan mendatangi Gedung DPR.
Anggota Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB) yang dipimpin Bung Hatta ini mengecam Undang-Undang Pemilu karena dijadikan salah satu alat oleh Soeharto untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden.
“Republik kita ini sedang sakit dari ujung kepala sampai ke ujung kaki,” kata Ali Sadikin dengan suara lantang.
Dalam pertemuan dengan Fraksi PDI yang dipimpin Usep Ranuwidjaja itu, Ali Sadikin mengatakan, sakit serius yang dialami Republik sudah mengancam demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Salah satu point protes para tokoh YLKB ini adalah Undang-Undang Pemilu yang selalu “disempurnakan” oleh DPR setiapkali menjelang Pemilu.
“Disempurnakan buat siapa? Disempurnakan agar partai pemenang lebih menang lagi?,” tandas Ali Sadikin.
Yang ia maksud “agar partai pemenang lebih menang lagi” tak lain adalah Golkar. Partai yang sangat berkuasa di era Orde Baru.
Menurutnya, banyak “pelacur politik” di dalam partai politik. Orang-orang ini resminya anggota suatu partai tetapi tunduk pada pihak lain.
Dalam pandangan para tokoh YLKB Undang-Undang Pemilu merupakan bagian dari perangkat konstitusi, merusak konstitusi merupakan tindakan tercela tiada ubahnya dengan “pelacur politik”.
Bung Hatta sendiri kerap memberikan penyadaran, bahwa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah sering terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap konstitusi.
Membuat rakyat sadar akan konstitusi, lanjut Bung Hatta, adalah hal yang sangat penting dalam negara yang demokratis dan menegakkan hukum.
Sehingga dengan demikian rakyat akan menyadari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah.
“Kita tidak hanya punya konstitusi, tetapi kita juga harus punya kesadaran berkonstitusi,” tegas Bung Hatta.
Di Amerika Serikat tugas utama seorang presiden adalah melindungi konstitusi dan melaksanakan undang-undang.
Desakan impeachment atau pemakzulan terhadap sejumlah presiden yang melanggar konstitusi disana sudah merupakan hal biasa, karena demokrasi dan penegakan hukumnya berjalan beriringan.
Di sini saat ini malah muncul keinginan dari penguasa istana yang didukung oleh partai politik (PKB, PAN, Golkar) untuk melanggar konstitusi, berupa perpanjangan masa jabatan presiden, serta adanya wacana mengenai penundaan Pemilu.
Kenapa dari mereka muncul tindakan yang melecehkan konstitusi?
Pertama, karena banyak elite penguasa dan ketua umum partai di Indonesia saat ini yang memiliki komorbid, yaitu penyakit bawaan berupa kasus-kasus hukum yang belum tuntas atau diambangkan.
Sehingga mereka tersandera, gampang diperintah untuk mendukung kudeta konstitusi. Kasus-kasus hukum mereka seperti korupsi dan perbuatan tercela lainnya dibarter dengan dukungan kudeta terhadap konstitusi.
Kedua, berkembang dugaan munculnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini berkaitan dengan kekhawatiran kalau Presiden Jokowi menyelesaikan masa jabatannya dalam dua periode, diduga akan muncul gelombang tuntutan hukum dari masyarakat atas berbagai kebijakan yang merugikan rakyat yang dilakukannya selama berkuasa.
Termasuk kejanggalan sumber modal praktek bisnis anak-anaknya yang berkembang karena nepotisme, serta menjurus kepada “kerajaan keluarga”, dengan bagi-bagi jabatan kepada anak, menantu, dan adik ipar. Sebagai walikota hingga Ketua MK.
Ketiga, mereka berpolitik tidak berbekal basis pemahaman sejarah. Politik direduksi jadi seni menipu rakyat. Sebagai teknik transaksi bukannya etik.
Mereka bermaksud menunggangi wacana Amandemen UUD 1945 untuk menyelundupkan agenda gelap, yaitu perpanjangan masa jabatan presiden.
Di sisi lain KPU-nya dibiarkan bermasalah. Jadi, esensinya, konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi mereka lecehkan sebagai sekedar sarana untuk merebut kedaulatan rakyat.
Kini saatnya elemen-elemen pro demokrasi menyelamatkan konstitusi yang sedang terancam oleh kudeta para begundal makar seperti digambarkan di atas.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang sejak awal mencermati gejala yang akan berimbas pada kehancuran konstitusi ini secara gamblang sudah memperingatkan kepada Jokowi.
“Sing Eling, Mas Jokowi Wis Wareg!”.
[***]